Al-Tanwir
Hubungi Kami  >
  • Beranda
  • Berita
  • Buletin
  • LPII
  • Menjawab
  • Pustaka
  • Kontak

​Shahibah

10/7/2017

0 Comments

 
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
 
Kini waktunya untuk menyimpulkan sementara. Bagian terakhir dari senarai tulisan tentang pasangan di surga. Ini pun saya bagi jadi dua. Ini setengah yang pertama.
Kerap dikatakan tiga hal ada di tangan Tuhan. Atau tiga hal yang rahasianya ada pada Tuhan: jodoh, rezeki, dan kematian. Saya belum menemukan rujukan persis riwayatnya. Apakah hadits atau nasihat para ulama. Ketika seorang anak bertanya, mengapa hanya tiga hal itu? Bukankah semua hal ada di tangan Tuhan? Saya tak dapat dengan pasti menjawabnya. Ya, saya dan dia punya pertanyaan yang sama: mengapa hanya tiga hal itu?
 
Lalu apa yang dimaksud dengan rezeki? Bukankah jodoh tak berjodoh adalah juga rezeki Tuhan? Bukankah bagi para perindunya, mati di jalan Tuhan adalah rezeki teramat besarnya?
 
Dalam mazhab Ahlul Bait as, versi riwayatnya sedikit berbeda. Begini bunyinya: “Ada delapan hal di (tangan) Tuhan: hidup dan mati; sehat dan sakit; fakir dan kaya; tidur dan terjaga…” Praktis, semuanya. Tak ada yang luput. Tak ada apa pun di tangan kita. Tetapi bahkan hadits ini pun tidak terlalu populer. Perlu ditelusuri lebih jauh.
 
Yang jelas, prinsip utamanya adalah: semuanya dari Allah Swt. Dan semua yang dari Allah Swt akan selalu indah; selalu adil, selalu sempurna. Karena Dia Sang Mahaindah, Mahaadil, Mahasempurna. Dia Sang Mahasegalanya. Tak ada beda perjalanan pada Tuhan, antara sendiri atau bersama, kecuali dalam ketakwaan. Memang, kebersamaan diutamakan. Biar bagaimanapun saling membantu, saling mendoakan, saling berkhidmat beroleh pahala berlipat ganda. Mengapa pernikahan beroleh kelebihan? Karena peluang saling membantu, saling mendoakan, saling berkhidmat yang lebih banyak daripada sendirian. Bukan berarti yang sendiri tak dapat saling membantu, saling mendoakan atau saling berkhidmat. Semua kita adalah anggota dari satu keluarga, bukan? Kepada mereka kita curahkan perkhidmatan kita. Dengan sesama manusia kita saling membantu dan berdoa.
 
Sering orang bertanya: apakah laki-laki lebih utama dari perempuan? Mengapa tak ada perempuan yang jadi nabi? Mengapa semua ulama dan pemberi fatwa kebanyakan laki-laki? Mengapa anak putra beroleh dua kali bagian warisan dari anak putri? Mengapa suami bisa beroleh lebih dari satu istri? Dan seterusnya, dan semisalnya.
 
Sesungguhnya, tak ada perbedaan itu, kecuali atas dasar takwa. Setiap kali Allah Ta’ala menyebutkan manusia selalu didampingan dua kata: min dzakarin aw untsa, baik laki-laki maupun wanita. “Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97); “Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-Nisa [4]:124)
 
Lalu mengapa laki-laki beroleh dua kali warisan perempuan? Bila perempuan melihat dari sisi hartanya, ia akan merasa Islam tidak adil memperlakukannya. Tetapi bila dilihat dari pertanggungjawaban harta itu nanti di akhirat, ia akan bersyukur beroleh setengah dari yang diterima saudaranya. Dalam Mazhab Ahlul Bait as ada peluang untuk membagi sama antara anak putra dan putri, melalui wasiat yang bisa dituliskan dan disampaikan sebelum waktu berpulangnya. Selain itu, perempuan melalui pernikahan telah beralih ‘kewalian’. Bila wali sebelumnya adalah ayahnya. Setelah menikah, wali itu adalah suaminya. Wali artinya yang memegang seluruh urusannya. 
 
Memang secara lahiriah, kita semua dinisbatkan pada ayah kita, pada laki-laki. Tetapi secara batiniah, kita dinisbatkan pada ibu kita. Bila hendak mendoakan saudara yang sakit, doakan ia dan sebut nama ibunya. Perempuan memiliki banyak keutamaan dalam Islam. Di antaranya, ia punya satu dari sekian alam yang dilalui manusia: alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam kubur, alam barzakh, alam akhirat. Satu dari alam itu dititipkan Allah Ta’ala pada perempuan. Belum lagi, bila kita mengukur awal dari kedewasaan; awal dari taklif sebagai sebuah kemuliaan. Maka perempuan secara biologis, lebih dahulu mulia dari laki-laki. Mereka lebih dahulu dipercaya untuk menerima tugas dari Tuhan. Bukankah demikian? Dalam mazhab Ahlul Bait as, kemulian lelaki dan perempuan ini ‘selesai’ dengan kedudukan Sayyidah Fathimah salaamullah ‘alaiha. Semuanya beroleh penghormatan dan kemuliaan.
 
Pengantar cukup panjang ini untuk menjelaskan keadilan Allah Ta’ala, bagi siapa saja: laki perempuan, yang menikah atau belum, yang ditinggal mati dan sendiri, yang menikah lagi, yang beristri lebih …siapa saja. Keadilan Allah Ta’ala meliputi kita seluruhnya. 
 
Telah kita bincangkan perbedaan antara ‘imro’ah dan zawjah dalam Al-Qur’an. Singkatnya: Imro’ah adalah istri yang belum tentu jadi pasangan di surga, yang belum tentu akan menemani perjalanan yang abadi. Demikian pula bagi suami. Istilah Al-Qur’an untuk suami adalah ba’l. Begitu terjadi perceraian atau ada hal yang ditakutkan seorang istri dari suaminya, Al-Qur’an menggunakan kata ba’l atau jamak bu’ul. “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya…” (QS. An-Nisa [4]:128); “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka menghendakinya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 228) dalam kedua ayat itu digunakan kata ba’l dan bu’ul.  Adapun zawj, penggunaannya adalah netral. Pasangan. Ia bisa untuk istri juga untuk suami. 
 
Ada juga pendapat lain. Imro’ah (dan ba’l) digunakan untuk keterkaitan berdasarkan hubungan lahiriah, hubungan jasmaniah. Adapun zawjah, adalah hubungan lahiriah yang disertai dengan keselerasan batiniah, kesehatian pikiran dan kesesuaian keinginan. Zawjah adalah pasangan dengan cinta yang bertumbuh dan berkembang. Makin lama makin sepaham, makin lama makin sejalan.
 
Di sinilah paradoksnya. 
 
Saya sering ditanya rahasia dari hidup berkeluarga. Saya tidak dapat menjawabnya. Saya sendiri masih terus berusaha untuk itu. Yang jelas, saya sampaikan: makin lama tahu, makin kita tahu bahwa kita tidak tahu. Makin belajar, makin tahu bahwa kita tidak mampu. Semakin besar kebergantungan kita pada mereka yang paling tahu. Begitu pula kehidupan berumah tangga. Tidak menarik lagi bila kita sudah tahu perangai pasangan kita. Tidak menantang lagi bila kita tahu kebiasaan dan sikapnya. Pelihara dan pertahankan kemisteriusan itu. Biarkan ia selalu menerka. Biarkan ia selalu menduga. Biarkan ada ruang antara kau dan dia. 
 
“And let there be space among your togetherness. 
Let the winds of the heaven dance between you
Love one another, but make not a bond of love
Let it rather be a moving sea
Between the shores of your soul
…
Give your heart, but not into each other’s keeping
For only the Hand of Life can contain your heart.
And stand together, yet not too near together
For the pillars of the temple stand apart
And the oak tree and the cypress grow 
Not in each others shadow”
 
Siapa lagi kalau bukan Khalil Gibran yang bisa merangkumkan kalimat para teladan bijak dengan indah itu.
 
Ya, di sinilah letak paradoks itu. Zawjah mensyaratkan pengetahuan kita tentang pasangan kita. Pasangan sejati, ia yang menjadi bidadari nanti, adalah ia yang sudah sehati sejak di bumi. Itulah mengapa Islam mengajarkan istri untuk membahagiakan suami dengan menaatinya. Dan bagi suami untuk berkhidmat pada istrinya. Paradoksnya terletak pada misteri manusia itu sendiri. Makin kita ketahui, makin kita tahu ada banyak hal lagi yang belum kita ketahui. Lalu bagaimana cara pasti, ia jadi pasangan yang abadi?
 
Mari sejenak berpindah pada istilah lain yang digunakan Al-Qur’an: shahibah. Pada hari kiamat, semua hubungan itu akan berakhir: lahiriah, jasmaniah…semua akan berakhir. “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam [19]:95). Itulah saat ketika Allah Ta’ala menggelari pasangan kita dengan shahibah: yang menyertai. Selama ini suami, istri sekadar sahabat saja, sekadar menemani saja. Simak bagaimana ayat suci mengisahkannya.
 
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya; dari ibu dan bapaknya; dari istri dan anak-anaknya.” (QS. ‘Abasa [80]: 34-36)
 
“Dan tidak ada seorang teman akrabpun menanyakan temannya; sedang mereka saling melihat. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dengan azab hari itu dengan anak-anaknya; dan istrinya dan saudaranya; dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).” (QS. Al-Ma’aarij [70]:10 - 13)
 
Pada kedua ayat di atas, meski terjemahan Indonesia tetap menggunakan kata istri, pilihan bahasa dalam Al-Qur’an adalah: shahibah. Ia yang hanya (pernah) menyertai saja. Perhatikan kata pernah dalam tanda kurung itu.
 
Karenanya, ada dua pilihan setelah imro’ah: menuju shahibah atau zawjah.
Yang manakah saudara?
 
@miftahrakhmat

0 Comments

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Rasulullah saw bersabda:

    “Ketahuilah, aku kabarkan kepadamu perihal Mukmin. Mukmin ialah orang yang karena dia jiwa dan harta manusia terlindungi (aman). Muslim ialah yang selamat orang lain dari gangguan lidah dan tangannya. Mujahid ialah orang yang berjihad melawan nafsunya ketika mentaati Allah. Muhajir ialah yang menjauhi kesalahan dan dosa.”
    ​
    ​ 
    (HR Al-Hakim dan Al-Thabrani)
    ​


    Picture

    Tema

    All
    Abu Nawas
    Adam
    Agama
    Ahlulbait
    Akal
    Akhlak
    Albirr
    Al-Husayn
    Ali Bin Abi Thalib
    Ali Bin Abu Thalib
    Al-Mizan
    Alquran
    Amal
    Anak
    Arafah
    Arbain Walk
    Asep Salahudin
    Asyura
    Babul
    Bahasa
    Bahjah
    Bahlul
    Bangsa
    Barzakh
    Berkah
    Bicara
    Bidadari
    Bubur Suro
    Bukhari
    Buku
    Bulan Suci
    Cerita
    Cinta
    Covid 19
    Covid-19
    Depresi
    Doa
    Dogma
    Dosa
    Dua Belas Imam
    Dunia
    Emas
    Empati
    Epistemologi
    Fatwa
    Fidyah
    Fikih
    Filsafat
    Fitrah
    Gaya Menulis
    Gender
    Gereja
    Ghuraba
    Globalisasi
    Guru
    Hadiah
    Hadis
    Haji
    Happy Birthday
    Hari Anak Nasional
    Hasan
    Hasan Bashri
    Hermeneutika
    Hitler
    Husain
    Ibadah
    Identitas Arab Itu Ilusi
    Ideologi
    Idul Fitri
    Ihsan
    IJABI
    Ilmu
    Ilmu Kalam
    Imam
    Imam Ali
    Imam Ali Zainal Abidin
    Imam Husain
    Imam Mahdi
    Iman
    Imsak
    Indonesia
    Islam
    Islam Ilmiah
    Islam Madani
    Isra Mikraj
    Jalaluddin
    Jalaluddin Rakhmat
    Jihad
    Jiwa
    Jumat
    Kafir
    Kajian
    Kaki
    Kang Jalal
    Karbala
    Keadilan
    Kebahagiaan
    Kebangkitan Nasional
    Keluarga
    Kemanusiaan
    Kematian
    Kesehatan
    Khadijah
    Khalifah
    Khotbah Nabi
    Khutbah
    Kisah Sufi
    Kitab
    Kitab Sulaim
    Konflik
    Kurban Kolektif
    Lembah Abu Thalib
    Madrasah
    Makanan
    Malaikat
    Manasik
    Manusia
    Maqtal
    Marhaban
    Marjaiyyah
    Marxisme
    Masjid
    Mawla
    Mazhab
    Media
    Miftah
    Mohammad Hussain Fadhullah
    Mubaligh
    Muhammad Babul Ulum
    Muharram
    Mujtahid
    Mukmin
    Munggahan
    Murid
    Muslim
    Muslimin
    Musuh
    Muthahhari
    Myanmar
    Nabi
    Najaf
    Nano Warno
    Negara
    Neurotheology
    Nikah
    Nilai Islam
    Nusantara
    Orangtua
    Otak
    Palestina
    Pancasila
    Pandemi
    Pendidikan
    Penyintas
    Perampok
    Pernikahan
    Pesantren
    Politik
    Post Truth
    Pseudosufisme
    Puasa
    Pulang
    Qanaah
    Racun
    Rakhnie
    Ramadhan
    Rasulullah
    Revisionis
    Rezeki
    Rindu
    Rumah
    Rumah Tangga
    Sahabat
    Sahur
    Saqifah
    Sastra
    Saudara
    Sayyidah Aminah
    Sayyidah Fatimah
    Sayyid Muhammad Hussein Fadhlullah
    Sejarah
    Sekolah
    Shahibah
    Shalat
    Shalawat
    Sidang Itsbat
    Silaturahmi
    Silsilah
    Sosial
    Spiritual
    Suami
    Suci
    Sufi
    Sunnah
    Sunni
    Surga
    Syahadah
    Syawal
    Syiah
    Tafsir
    Tajil
    Takfirisme
    Taklid
    Tanah
    Tarawih
    Tasawuf
    Tauhid
    Tsaqalayn
    Tuhan
    Ukhuwah
    Ulama
    Umat
    Umrah
    Waktu
    Waliyyul Amri
    Wasiat
    Wiladah
    Yatim
    Zawjah
    Ziarah

    Arsip

    April 2024
    March 2024
    November 2023
    October 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    July 2022
    June 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    March 2021
    January 2021
    December 2020
    November 2020
    September 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    May 2020
    March 2020
    January 2020
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    September 2018
    July 2018
    May 2018
    February 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.