Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Kini waktunya untuk menyimpulkan sementara. Bagian terakhir dari senarai tulisan tentang pasangan di surga. Ini pun saya bagi jadi dua. Ini setengah yang pertama.
Lalu apa yang dimaksud dengan rezeki? Bukankah jodoh tak berjodoh adalah juga rezeki Tuhan? Bukankah bagi para perindunya, mati di jalan Tuhan adalah rezeki teramat besarnya?
Dalam mazhab Ahlul Bait as, versi riwayatnya sedikit berbeda. Begini bunyinya: “Ada delapan hal di (tangan) Tuhan: hidup dan mati; sehat dan sakit; fakir dan kaya; tidur dan terjaga…” Praktis, semuanya. Tak ada yang luput. Tak ada apa pun di tangan kita. Tetapi bahkan hadits ini pun tidak terlalu populer. Perlu ditelusuri lebih jauh.
Yang jelas, prinsip utamanya adalah: semuanya dari Allah Swt. Dan semua yang dari Allah Swt akan selalu indah; selalu adil, selalu sempurna. Karena Dia Sang Mahaindah, Mahaadil, Mahasempurna. Dia Sang Mahasegalanya. Tak ada beda perjalanan pada Tuhan, antara sendiri atau bersama, kecuali dalam ketakwaan. Memang, kebersamaan diutamakan. Biar bagaimanapun saling membantu, saling mendoakan, saling berkhidmat beroleh pahala berlipat ganda. Mengapa pernikahan beroleh kelebihan? Karena peluang saling membantu, saling mendoakan, saling berkhidmat yang lebih banyak daripada sendirian. Bukan berarti yang sendiri tak dapat saling membantu, saling mendoakan atau saling berkhidmat. Semua kita adalah anggota dari satu keluarga, bukan? Kepada mereka kita curahkan perkhidmatan kita. Dengan sesama manusia kita saling membantu dan berdoa.
Sering orang bertanya: apakah laki-laki lebih utama dari perempuan? Mengapa tak ada perempuan yang jadi nabi? Mengapa semua ulama dan pemberi fatwa kebanyakan laki-laki? Mengapa anak putra beroleh dua kali bagian warisan dari anak putri? Mengapa suami bisa beroleh lebih dari satu istri? Dan seterusnya, dan semisalnya.
Sesungguhnya, tak ada perbedaan itu, kecuali atas dasar takwa. Setiap kali Allah Ta’ala menyebutkan manusia selalu didampingan dua kata: min dzakarin aw untsa, baik laki-laki maupun wanita. “Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97); “Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-Nisa [4]:124)
Lalu mengapa laki-laki beroleh dua kali warisan perempuan? Bila perempuan melihat dari sisi hartanya, ia akan merasa Islam tidak adil memperlakukannya. Tetapi bila dilihat dari pertanggungjawaban harta itu nanti di akhirat, ia akan bersyukur beroleh setengah dari yang diterima saudaranya. Dalam Mazhab Ahlul Bait as ada peluang untuk membagi sama antara anak putra dan putri, melalui wasiat yang bisa dituliskan dan disampaikan sebelum waktu berpulangnya. Selain itu, perempuan melalui pernikahan telah beralih ‘kewalian’. Bila wali sebelumnya adalah ayahnya. Setelah menikah, wali itu adalah suaminya. Wali artinya yang memegang seluruh urusannya.
Memang secara lahiriah, kita semua dinisbatkan pada ayah kita, pada laki-laki. Tetapi secara batiniah, kita dinisbatkan pada ibu kita. Bila hendak mendoakan saudara yang sakit, doakan ia dan sebut nama ibunya. Perempuan memiliki banyak keutamaan dalam Islam. Di antaranya, ia punya satu dari sekian alam yang dilalui manusia: alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam kubur, alam barzakh, alam akhirat. Satu dari alam itu dititipkan Allah Ta’ala pada perempuan. Belum lagi, bila kita mengukur awal dari kedewasaan; awal dari taklif sebagai sebuah kemuliaan. Maka perempuan secara biologis, lebih dahulu mulia dari laki-laki. Mereka lebih dahulu dipercaya untuk menerima tugas dari Tuhan. Bukankah demikian? Dalam mazhab Ahlul Bait as, kemulian lelaki dan perempuan ini ‘selesai’ dengan kedudukan Sayyidah Fathimah salaamullah ‘alaiha. Semuanya beroleh penghormatan dan kemuliaan.
Pengantar cukup panjang ini untuk menjelaskan keadilan Allah Ta’ala, bagi siapa saja: laki perempuan, yang menikah atau belum, yang ditinggal mati dan sendiri, yang menikah lagi, yang beristri lebih …siapa saja. Keadilan Allah Ta’ala meliputi kita seluruhnya.
Telah kita bincangkan perbedaan antara ‘imro’ah dan zawjah dalam Al-Qur’an. Singkatnya: Imro’ah adalah istri yang belum tentu jadi pasangan di surga, yang belum tentu akan menemani perjalanan yang abadi. Demikian pula bagi suami. Istilah Al-Qur’an untuk suami adalah ba’l. Begitu terjadi perceraian atau ada hal yang ditakutkan seorang istri dari suaminya, Al-Qur’an menggunakan kata ba’l atau jamak bu’ul. “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya…” (QS. An-Nisa [4]:128); “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka menghendakinya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 228) dalam kedua ayat itu digunakan kata ba’l dan bu’ul. Adapun zawj, penggunaannya adalah netral. Pasangan. Ia bisa untuk istri juga untuk suami.
Ada juga pendapat lain. Imro’ah (dan ba’l) digunakan untuk keterkaitan berdasarkan hubungan lahiriah, hubungan jasmaniah. Adapun zawjah, adalah hubungan lahiriah yang disertai dengan keselerasan batiniah, kesehatian pikiran dan kesesuaian keinginan. Zawjah adalah pasangan dengan cinta yang bertumbuh dan berkembang. Makin lama makin sepaham, makin lama makin sejalan.
Di sinilah paradoksnya.
Saya sering ditanya rahasia dari hidup berkeluarga. Saya tidak dapat menjawabnya. Saya sendiri masih terus berusaha untuk itu. Yang jelas, saya sampaikan: makin lama tahu, makin kita tahu bahwa kita tidak tahu. Makin belajar, makin tahu bahwa kita tidak mampu. Semakin besar kebergantungan kita pada mereka yang paling tahu. Begitu pula kehidupan berumah tangga. Tidak menarik lagi bila kita sudah tahu perangai pasangan kita. Tidak menantang lagi bila kita tahu kebiasaan dan sikapnya. Pelihara dan pertahankan kemisteriusan itu. Biarkan ia selalu menerka. Biarkan ia selalu menduga. Biarkan ada ruang antara kau dan dia.
“And let there be space among your togetherness.
Let the winds of the heaven dance between you
Love one another, but make not a bond of love
Let it rather be a moving sea
Between the shores of your soul
…
Give your heart, but not into each other’s keeping
For only the Hand of Life can contain your heart.
And stand together, yet not too near together
For the pillars of the temple stand apart
And the oak tree and the cypress grow
Not in each others shadow”
Siapa lagi kalau bukan Khalil Gibran yang bisa merangkumkan kalimat para teladan bijak dengan indah itu.
Ya, di sinilah letak paradoks itu. Zawjah mensyaratkan pengetahuan kita tentang pasangan kita. Pasangan sejati, ia yang menjadi bidadari nanti, adalah ia yang sudah sehati sejak di bumi. Itulah mengapa Islam mengajarkan istri untuk membahagiakan suami dengan menaatinya. Dan bagi suami untuk berkhidmat pada istrinya. Paradoksnya terletak pada misteri manusia itu sendiri. Makin kita ketahui, makin kita tahu ada banyak hal lagi yang belum kita ketahui. Lalu bagaimana cara pasti, ia jadi pasangan yang abadi?
Mari sejenak berpindah pada istilah lain yang digunakan Al-Qur’an: shahibah. Pada hari kiamat, semua hubungan itu akan berakhir: lahiriah, jasmaniah…semua akan berakhir. “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam [19]:95). Itulah saat ketika Allah Ta’ala menggelari pasangan kita dengan shahibah: yang menyertai. Selama ini suami, istri sekadar sahabat saja, sekadar menemani saja. Simak bagaimana ayat suci mengisahkannya.
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya; dari ibu dan bapaknya; dari istri dan anak-anaknya.” (QS. ‘Abasa [80]: 34-36)
“Dan tidak ada seorang teman akrabpun menanyakan temannya; sedang mereka saling melihat. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dengan azab hari itu dengan anak-anaknya; dan istrinya dan saudaranya; dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).” (QS. Al-Ma’aarij [70]:10 - 13)
Pada kedua ayat di atas, meski terjemahan Indonesia tetap menggunakan kata istri, pilihan bahasa dalam Al-Qur’an adalah: shahibah. Ia yang hanya (pernah) menyertai saja. Perhatikan kata pernah dalam tanda kurung itu.
Karenanya, ada dua pilihan setelah imro’ah: menuju shahibah atau zawjah.
Yang manakah saudara?
@miftahrakhmat