Tujuan pendidikan yang menghasilkan insan Indonesia yang cerdas secara holistik ini bukan hanya menjadi tujuan sesaat namun perlu dibudayakan, dimana belajar dan mengajar tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan mentransfer ilmu dari guru ke siswa, namun bagaimana seluruh warga membiasakan hidup dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah.
Kebiasaan, nilai-nilai yang dibentuk dalam perjalanan disebut dengan budaya sekolah. Zamroni menyatakan bahwa sekolah sebagai sebuah organisasi memiliki budaya yang berisikan nilai-nilai, norma-norma, sikap, persepsi, pikiran-pikiran atau ide-ide, dan perilaku yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah dan diyakini oleh warga sekolah dapat berfungsi sebagai suatu pedoman dalam memecahkan masalah-masalah sekolah. Sekolah menjadi wadah utama dalam transmisi kultural antar generasi ke generasi. Lembaga pendidikan akan terus berkembang manakala individu-individu didalamnya memiliki komitmen dan terus membudayakan mutu serta nilai-nilai positif yang ada. Sekolah menjadi wadah utama dalam transmisi kultural antar generasi ke generasi. Lembaga pendidikan akan terus berkembang manakala individu-individu didalamnya memiliki komitmen dan terus membudayakan mutu serta nilai-nilai positif yang ada. Di tengah tuntutan masyarakat, orang tua dan stakeholder terhadap mutu pendidikan yang semakin tinggi dan bervariasi, maka sekolah harus mampu membangun tradisi mutu yang tinggi dan berkesinambungan.
Pembentukan dan pengelolaan budaya sekolah adalah suatu hal yang mutlak untuk memperoleh budaya mutu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Hoy & Miskel bahwa sekolah yang unggul adalah sekolah yang memiliki budaya sekolah yang baik dan mempertahankannya menjadi sebuah tradisi sekolah. upaya sekolah merupakan faktor yang paling penting dalam membetuk siswa menjadi manusia yang penuh optimis, berani, terampil, berperilaku kooperatif, dan kecakapan personal dan akademik. Membangun budaya kualitas yang kuat memerlukan pemimpin yang mempunyai komitmen kuat pada mutu dan kepribadian yang kuat pula. Istilah yang lebih tepat untuk kepemimpinan yang mempunyai komitmen ini yaitu kepemimpinan yang efektif. Kuczmarshi & Kucsmarshi menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif dalam budaya sekolah adalah kepemimpinan yang bersandar pada nilai (value of leadership), yaitu hubungan antara seorang pemimpin dan para pengikut berdasarkan nilai-nilai ideologis yang diyakini dan diresapi dengan kuat secara bersama-sama. Mc Cuddy dan Viinamaki menyatakan bahwa kepemimpinan berbasis nilai adalah kepemimpinan yang mencerminkan dasar moral yang mendasari keputusan pengelolaan dan tindakannya. Adapun Percy menambahkan bahwa kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang bersumber pada kepemimpinan yang berakar pada moral dan spiritual. Dapat dipahami bahwa kepemimpinan berbasis nilai moral dan spiritual ini membangun hubungan dan menggerakkan organisasi dilandasi oleh inti ruh yang sedemikian kukuh yang diyakini dalam setiap pengelolaan tindakannya untuk mencapai tujuan organisasi.
Sekolah-sekolah yang bernuansa agama, dalam hal ini Islam, tentu memiliki nilai-nilai yang didasari dari bangunan-bagunan keagamaan yang diantaranya berisi nilai-nilai spiritual ajaran agama. Oleh karena itu dibutuhkan kepemimpinan yang bersandar pada nilai-nilai spiritual. Model kepemimpinan ini oleh Fry disebut dengan kepemimpinan spiritual atau kepemimpinan yang mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual. Pemimpin yang berbasis spiritual (ruhani) berusaha untuk mengintegrasikan spiritual dalam aspek kehidupannya.
Kepemimpinan yang lebih banyak mengandalkan kecerdasan spiritual dalam memimpin, sangat menjaga nilai-nilai spiritual. Pemimpin yang menjalankan kekuasaannya berdasar hati nurani, karena hati nurani menuntun pemimpin yang arif, bijaksana dalam melakukan kepemimpinannya. Ukuran keberhasilan atau prestasi pemimpin tidak semata-mata ditentukan oleh produktifitas berdasarkan formula input-output atau parameter biaya, waktu, tenaga, efisien dan efektivitas. Namun, memperhatikan kepuasan batiniah komunitas sehubungan kontribusi mereka terhadap organisasi.
Penulis memilih SMA Plus Muthahhari Bandung sebagai objek kajian karena melihat perjalanan SMA Plus Muthahhari sebagai lembaga pendidikan yang unggul tidaklah mudah. Sekolah swasta Islam yang dikenal dengan mottonya Sekolah Para Juara ini selalu menghadapi berbagai fitnahan. Biasanya fitnah terhadap sekolah terjadi ketika masa-masa penerimaan siswa baru. Walaupun seringnya mendapat fitnahan, namun tidak menyurutkan sekolah SMA Plus Muthahhari untuk dapat berprestasi. SMA Plus Muthahhari Bandung merupakan bentuk pengabdian Jalaluddin Rakhmat terhadap pendidikan. Jalaluddin menjadikan lembaga pendidikan ini sebagai objek percobaan dari hasil bacaan-bacaan dan kunjungan beliau ke beberapa daerah hingga negara. Telah 24 tahun lamanya SMA Plus Bandung ini hadir ditengah-tengah masyarakat, dan hingga saat ini masih dipercaya sebagai sekolah percontohan.
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijelaskan, maka penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana karaktersistik kepemimpinan spiritual di SMA Plus Muthahhari? Kedua, Bagaimana kontribusi kepemimpinan spiritual dalam mengembangkan budaya kualitas sekolah Ketiga, bagaimana budaya kualitas sekolah di SMA Plus Muthahhari Bandung.
Penelitian ini difokuskan pada ditemukannya: model kepemimpinan yang efektif sebagai alternatif untuk mengembangkan budaya organisasi lembaga pendidikan Islam yang efektif dalam meningkatkan mutu pendidikan. Adapun tujuannya untuk mengidentifikasi” Pertama, karaktersistik kepemimpinan spiritual di SMA Plus Muthahhari? Kedua, kontribusi kepemimpinan spiritual dalam mengembangkan budaya kualitas sekolah Ketiga, budaya kualitas sekolah di SMA Plus Muthahhari Bandung.
Sebagai karya akademis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi banyak kalangan, baik secara teoritis maupun empiris. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk memperkenalkan perspektif baru dalam kajian kepemimpinan pendidikan yang efektif dalam memelihara budaya kualitas sekolah untuk menciptakan lulusan yang unggul dan berkarakter. Secara empiris, hasil penelitian ini nantinya diharapkan berguna untuk rujukan dalam mengelola lembaga pendidikan. Karena selama ini banyak lembaga pendidikan Islam yang kebingungan mencari format pengembangan yang tidak tercerabut dari akar religiusitas, filosofis atau historisitasnya.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran umum dan mendalam tentang karakteristik dan kontribusi kepemimpinan spiritual dalam mengembangkan budaya kualitas pendidikan. Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal, dengan memusatkan perhatian pada sekolah swasta Islam SMA Plus Muthahhari di bawah naunganYayasan Muthahhari Bandung. Data primer diperoleh dari sumber primer yaitu ketua Yayasan/Pembina sekolah, kepala sekolah, wakil, para guru, tenaga kependidikan, siswa dan orangtua murid. Data sekunder berupa qualitative document seperti disertasi, jurnal, dokumen-dokumen serta sumber dan data penunjang lainnya. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi non-partisipan,dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan analisis integratif, dengan cara data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan tiga cara yaitu, organisasi data, reduksi data dan penyajian data. Untuk pengecekan keabsahan data menggunakan; kredibilitas data dengan teknik triangulasi, dependabilitas dan konfirmabilitas.
Kepemimpinan Spiritual
Istilah kepemimpinan dan jenisnya telah banyak dikenal baik secara akademik maupun sosiologik, seperti kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional. Akan tetapi kata kepemimpinan dirangkai dengan kata spiritual memerlukan pembahasan yang mendalam. Fairlhom mendefenisikan spiritualitas dan keberagamaan sebagai dua konsep yang berbeda meskipun keduanya saling berkaitan. Spiritualitas diturunkan dari kesadaran dari dalam diri melampaui sistem kepercayaan yang diajarkan atau dipelajari. Sistem kepercayaan keberagamaan bersumber dari spiritualitas. Agama adalah bentuk dan spiritualitas adalah sumber dibalik bentuk tersebut, bahkan dimensi spiritualitas ini adalah sumber dari semua sistem kepercayaan agama tanpa ada perbedaan. Giacalone menggambarkan bahwa spiritualitas mencakup karakter, etika dan keinginan seseorang untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Thompson menggambarkan bahwa spiritualitas mencakup karakter, etika dan keinginan seseorang untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Adapun Mitrof dan Denton mendefenisikan spirtualitas sebagai hasrat untuk menemukan makna dan tujuan akhir kehidupan seseorang dan untuk hidup dalam kehidupan yang terpadu. Adapun mendefenisikan spiritualitas sebagai hasrat untuk menemukan makna dan tujuan akhir kehidupan seseorang dan untuk hidup dalam kehidupan yang terpadu.
Namun, ada juga yang memandang bahwa spiritualitas hakikatnya juga agama. Twig dan Parayitam menyimpulkan bahwa spiritualitas adalah suatu tingkat kesadaran akan kekuatan yang lebih tinggi (transenden) atau filosofi kehidupan yang diwujudkan dalam kesadaran terhadap dimensi transenden dalam hidup dan kesadaran akan adanya keterhubungan terkait dengan diri sendiri, orang lain dan Yang Maha Kuasa di balik alam ini.
Berbagai macam perspektif tentang karakteristik kepemimpinan spiritual. Menurut Louis W. Fry, kepemimpinan spiritual meliputi tugas: Pertama, menciptakan suatu visi dimana anggota-anggota organisasi mengalami perasaan terpanggil dalam hidupnya, menemukan makna, dan membuat sesuatu yang berbeda. Kedua, membangun suatu budaya sosial/organisasi berdasarkan cinta altrustik, dimana pemimpin dan pengikut sungguh-sungguh saling perhatian, peduli, dan menghargai satu sama lain, sehingga menghasilkan rasa keanggotaan, merasa dipahami dan dihargai. Adapun tujuan kepemimpinan spiritual adalah: Pertama, untuk memasuki kebutuhan mendasar bagi pemimpin dan anggota demi terciptanya kesejahteraan spiritual melalui kedekatan dan keanggotaan. Kedua, menciptakan visi dan nilai kongruensi antar individu, dan pemberdayaan tim dan Ketiga, mewujudkan komitmen dan produktivitas organisasi ke level yang lebih tinggi.
Dalam kaitannya dengan kepribadian manusia, Zohar dan Marshal mengemukakan ada delapan aspek kecerdasan spiritual, yaitu: Pertama, kapasitas diri untuk bersikap fleksibel, seperti aktif dan adaptif secara spontan. Kedua, level kesadaran diri (self-awareness) yang tinggi. Ketiga, kapasitas diri untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan (suffering). Keempat, kualitas hidup yang terinspirasi dengan visi dan nilai-nilai. Kelima, keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu (unnecessary harm). Keenam, memiliki cara pandang yang holistik dengan memiliki kecenderungan untuk melihat keterkaitan di antara segala sesuatu yang berbeda. Ketujuh, memiliki kecenderungan nyata untuk bertanya dan mencari jawaban yang fundamental. Kedelapan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan tradisi (konvensi).
Sisk dan Torence mengemukakan beberapa karakteristik mereka: memiliki persepsi dan nilai-nilai yang mencerminkan perspektif lebih besar, dan sebagai dampaknya, perkataan dan tindakan mereka membangunkan kesadaran orang tentang kebenaran universal. Mereka tergolong para pencari jalan spiritual (spiritual pathfinder) karena kekuatannya memperbaharui masyarakat, membangunkan harapan, dan meningkatkan cita-citanya. Memiliki kemampuan mentransormasikan kondisi-kondisi masyarakat sekalipun kondisi-kondisi tersebut membatasi mereka. Kualitas spiritual ini mampu menumbuhkan rasa keterpanggilan pada tugas dan peran dan rasa keanggotaan yang paling dalam serta penuh makna pada organisasi. Saat ini kualitas spiritual ini sangat dibutuhkan mengingat kecenderungan kompleksifikasi yang dihadapi organisasi dewasa ini.
Menurut Sanerya, inividu yang cerdas secara spiritual ditandai oleh ciri-ciri di atas memiliki hubungan yang erat dengan empat kualitas yang sangat diperlukan bagi eksistensi organisasi yang efektif dalam jangka panjang, yakni keunggulan (excellence), kecerdasan (intelligence), kearifan (wisdom), dan cinta (love).
Dalam Islam, spiritualitas merupakan aspek esoteris Islam yang menjadikan pengalaman batiniyah dan ruhaniyah sebagai cara pencapaian kebahagiaan yang hakiki. Dimensi spiritual bertumpu pada qalb (hati/kalbu). Al-Ghazali memaknai hati dari dua aspek, yaitu aspek jasmani dan aspek ruhani.[1] Aspek jasmani berupa segumpal daging berbentuk lonjong, terletak dalam rongga dada sebelah kiri. Daging tersebut sangat spesifik–di dalamnya terdapat rongga, dan didalam rongga tersebut terdapat darah hitam–. Aspek ruhani sebagai sesuatu yang dapat mengenal dan mengetahui segalanya, serta menjadi sasaran perintah, celaan, hukuman, dan tuntutan dari Tuhan. Hati inilah yang menurut beliau sebagai hakikat kemanusiaan dan merupakan tempat pengetahuan ruhaniah (spiritual).
Mereka tidak pernah kehilangan semangat karena mereka yakin ada Allah dihatinya. Mereka sangat optimis dan bekerja dengan dinamis. Pemimpin berbasis spiritual sangat yakin bahwa Allah sumber energi, sumber kekuatan. Karena Allah ada di dalam hati.
Budaya Kualitas
Dalam memahami pengertian budaya kualitas, terlebih dahulu perlu memahami akar budaya kualitas itu sendiri, yaitu budaya organisasi. Hal ini dinyatakan oleh Kujala dan Ullrank karena beliau beranggapan bahwa budaya mutu merupakan bagian dari budaya organisasi. Pernyataan yang sama juga disampaikan Edi Sutrisno bahwa guna memahami budaya kualitas terlebih dahulu perlu memahami konsep budaya organisasi.
Adapun pengertian budaya organisasi, banyak pakar yang memiliki pandangan yang hampir sama. Menurut Noe dan Mondy, budaya organisasi adalah sistem nilai, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk mendapatkan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi secara keseluruhan.
Jerald Greenberg dan Robert A Baron mengatakan bahwa budaya organisasi sebagai kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan yang diterima bersama oleh anggota organisasi. Akar setiap budaya adalah serangkaian karakteristik init yang dihargai secara kolektif oleh anggota organisasi. Adapun Stephen P. Robbins mendefenisikan budaya organisasi sebagai sebuah sistem tentang keberartian dan keyakinan-keyakinan bersama yang dijadikan pedoman oleh anggota organisasi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah mengenai nilai-nilai, norma-norma, keyakinan dan kebiasaan yang berlaku di sebuah organisasi yang sesuai dengan visi organisasi sehingga dapat bersama-sama mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Lalu bagaimana dengan budaya mutu? Menurut Goetsch dan Davis, budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang dihasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terus menerus. Budaya mutu terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, tradisi, prosedur dan harapan dalam meningkatkan kualitas.
Watson dan Gryna mengemukakan bahwa budaya mutu adalah sistem nilai, kebiasaan, keyakinan dan perilaku yang fokus terhadap kualitas. Hardjosoedarmo memaparkan budaya kualitas adalah pola nilai-nilai, keyakinan dan harapan yang tertanam dan berkembang di kalangan anggota organisasi mengenai pekerjaannya untuk menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas. Menurut Edy Sutrisno, budaya mutu (kualitas) adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Budaya kualitas terdiri atas filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, dan harapan yang meningkatkan kualitas.
Dalam menelaah upaya memelihara budaya kualitas organisasi (sekolah), penulis menggunakan teori Owens yaitu: artikulasi visi, misi dan tujuan organisasi, simbol-simbol organisasi (sekolah), hubungan sosial- emosional anggota organisasi (sekolah), dan penghargaan terhadap anggota organisasi (sekolah).
Adapun nilai-nilai dasar kualitas merujuk pada konsepsi UNESCO tahun 1991 yang menekankan pentingnya martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi, yaitu: nilai dasar kesehatan, nilai dasar kebenaran, nilai dasar kasih sayang, nilai dasar spiritual, nilai dasar tanggungjawab sosial.
Hasil Penelitian, Pembahasan, dan Produk Penelitian
Vision
Keinginan untuk menghasilkan generasi yang unggul dalam bidang agama dan umum terutama dalam menghadapi perubahanan dan tantangan zaman saat ini, menginspirasi pendiri sekaligus pimpinan sekolah SMA Plus Muthahhari mendirikan sebuah sekolah yang unggul. Wujud harapan besar tersebut terlihat dari visi sekolah ini yaitu “Mempersiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang Memiliki Faedah Kompetitif dalam Pasar Global”. Visi ini mencerminkan cita-cita sekolah yang berorientasi ke depan dalam menghadapi tantangan global pada millenium ke-tiga dengan memperhatikan potensi kekinian. Bagi pimpinan Sekolah di SMA Plus Muthahhari visi merupakan harapan, dan gambaran tentang masa depan sekolahnya, dan masa depan bangsanya. Visi sekolah adalah proses perenungan panjang yang yang menggabungkan pengalaman intelektual serta intuisi pimpinan.
Dikatakan sebagai proses perenungan karena visi tersebut memiliki bobot idealisme, mengandung falsafah yang kuat dan sangat mendalam. Pimpinan memiliki keinginan bahkan ambisi yang sangat kuat untuk menuju masa depan generasi muda dimana ada sesuatu yang sangat berharga untuk diraih yaitu terwujudnya sekolah yang unggul. Faktanya sekolah yang lahir dari inspirasi pimpinan spiritual ini telah menghasilkan banyak alumni dengan prestasi yang berbeda yang siap berkompetisi dalam pasar global. Dengan percaya diri, pimpinan SMA Plus Muthahhari memberi motto Sekolah tersebut sebagai sekolah Para Juara. Visi yang telah terbentuk sejak awal berdirinya sekolah hingga saat ini telah diterima, dihayati dan dijalankan oleh seluruh anggota sekolah terbuti visi tersebut tidak ada perubahan sama sekali. Ini berarti visi tersebut sesuai dengan panggilan hati nurani.
Kreatif
Salah satu kriteria kepemimpinan spiritual adalah memilih kreativitas yang tinggi. Kriteria ini ditemukan dalam diri pemimpin SMA Plus Muthahhari. Pemimpin SMA Plus Muthahhari bukan hanya dikenal sebagai cendikiawan muslim sekaligus pakar ilmu komunikasi, tetapi beliau juga tokoh reformasi dimana pemikiriannya mencerahkan wawasan, menawarkan alternatif-alternatif dengan pendekatan yang khas dan mudah dipahami.
Cinta Altruism
Kepemimpinan berbasis spiritual merupakan kepemimpinan yang melayani, menyatukan layannya selaras dengan nilai-nilai dasar spiritual mereka dengan orang lain yang dilayani. Dalam konteks kepemimpinan spiritual di SMA Plus Muthahhari, melayani berarti menemukan semangat batin untuk membantu orang-orang yang susah secara materi, yang diistilahkan dengan kaum Indaadul Mustadain sebagai bentuk kepeduliannya terhadap orang-orang terpinggirkan. Pimpinan SMA Plus Muthahhari memiliki dua sekolah binaan yaitu: SMP Muthahhari dan SMP Indaadul Mustadain semuanya gratis. Pimpinan masih terobsesi untuk melihat SMP Muthahhari berdiri diseluruh pelosok tanah air, sehingga anak-anak miskin tidak putus dari akses penidikannya. Mereka tidak bayar apapun, semua fasilitas disediakan tetapi pendidikan yang diberi tetap bermutu.
Keberadaan cinta altruism akan menghadirkan solidaritas dan kemudian menularkannya menjadi satu kesadaran. hal ini kepedulian pimimpin sekolah terhadap fakir miskin dijadikan sebagai solidaritas bersama yang melibatkan guru, siswa dan orang tua. Bagi pimpinan sekolah, berbuat secara tulus dan ikhlas membawa pada kebahagiaan. Berbuat baik itu menyembuhkan orang yang melakukan, dan berkata yang baik itu menyembuhkan orang yang mendengarkannya. Berbuat baik tidak hanya diistilahkan dengan amal shaleh tetapi juga dengan berlaku baik.
Sabar dan Pemaaf
Karakteristik kepemimpinan spiritual lainnya adalah pemaaf. Sebagai pimpinan dari sebuah sekolah yang selalu mendapat fitnah di setiap tahun ajaran baru sebagai sekolah Syiah yang mengajarkankan kawin mut’ah, kepala sekolah tidak marah dan bergeming pada pendirian dan jalan hidupnya. Saat menjawab tuduhan itu wajahnya memerah dan kesal, tetapi ia tetap mampu mengendalikan emosinya. Bila persoalannya melibatkan sekolah dan siswanya kepala sekolah tidak mengajarkan anggota sekolah untuk membalas dendam dan kebencian tetapi menghadapinya dengan sikap yang bijaksana.
Kritis
Pimpinan di SMA Plus Muthahhari adalah sosok pemimpin yang tidak mau begitu saja menerima informasi atau ilmu pengetahuan tanpa terlebih dahulu menganalisa Karakter kepemimpinan ini dikembangkan di sekolah sebagai landasan berfikir analitis dalam memahami semua bentuk pengetahuan.
Kontribusi kepemimpinan spiritual
Kontribusi kepemimpinan Kang Jalal adalah sebuah upaya untuk menyatukan berbagai unsur vital kehidupan yang sering terpisahkan dari diri anggotanya (guru, tenaga kependidikan dan siswa) yang diistilahkan dengan spiritualisasi organisasi. Unsur-unsur kehidupan yang hendak disatukan itu adalah aksi (what people do), identitas (who they are), serta nilai dan keyakinan (what they most value and belief). Dengan istilah lain unsur-unsur tersebut mencakup pikiran (mind), badan (body) dan ruh (spirit); atau fisik, intelektual, Adapun bentuk kontribusi kepemimpinan dalam mengembangkan budaya kualitas sekolah yaitu dengan menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang diharapkan dari konsumen pendidikan mulai dari input (rekrutmen siswa tanpa tes), proses (pendidikan dilakukan dengan memahami potensi siswa), output (menghasilkan siswa yang multi kecerdasan), yang ditandai dengan adanya perumusan visi, misi dan tujuan pendidikan yang jelas, hubungan sosial emosional dan spiritual yang tinggi , simbol-simbol yang sesuai dengan harapan sekolah yaitu foto tokoh Murtadha Muthahhari dan Ilmu sebagai Simbol Pengembangan ‘UlulAlbab dan penghargaan terhadap tenaga edukatif dan siswa,
Realitas Nilai dasar kualitas di SMA Plus Muthahhari Bandung
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, budaya kualitas yang dikembangkan di SMA Plus Muthahhari adalah hasil adaptasi nilai-nilai kepemimpinan berbasis spiritual yang ada dalam diri pendiri, sekaligus pengasuh dan pembina sekolah. Adapun budaya kualitas tersebut adalah budaya empati, budaya kritis, budaya inovatif dan budaya inklusif-pluralis. Budaya empati berkaitan erat dengan tingkah laku moral warga sekolah.
Nilai Empati
Kepedulian Kang Jalal terhadap fakir miskin ditindak lanjuti sebagai sebuah gerakan solidaritas bersama yang melibatkan guru, siswa dan orang tua siswa. Saat ini SMA Plus Muthahhari memiliki sekolah binaan berbeasiswa penuh bagi anak-anak dari keluarga muslim yang lemah yang kurang beruntung secara ekonomi (imdad al mustadh'afīn) yaitu Madrasah Sajjadiyah dan SMP Muthhahhari. Langkah ini diagendakan secara kelembagaan di lembaga sekolah.
Nilai Kritis
Program menyuarakan kebebasan berpendapat dengan membangun sikap kritis. Membangun sikap atau budaya kritis bukan bertujuan untuk menjadi ragu, tetapi sebuah metode dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sering menjadi keraguan. Program ini dimaksud untuk memberikan pendidikan politik kepada para siswa agar mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga SMA Plus Muthahhari. Prinsip yang harus dikedepankan dalm forum ini adalah “berani berbeda” dan “menilai orang dari amalnya bukan dari pendapatnya”.
Nilai-nilai kritis ini bukan hanya diberlakukan di luar kelas, namun juga dalam pembelajaran di kelas, khususnya di pelajaran Dirasat Islamiyyah, seperti melontarkan pertanyaan mengapa kita mesti beragama? Kalau beragama mengapa harus Islam? Sehingga akan timbul kesadaran dan keyakinan yang kuat.
Sehubungan dengan proses belajar Dirasat Islamiyyah di atas, siswa-siswa dilatih untuk berargumentasi, mengeluarkan semua kemampuannya dalam menerima pelajaran apapun. Siswa di ajarkan untuk berfikir kritis analitis sehingga ketika menerima pelajaran, hasil yang diperoleh merupakan pertimbangan pribadi. Berdebat dan berargumentasi namun harus didukung ilmu pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu, di akhir pelajaran siswa tidak dibiarkan untuk berfikir sendiri, namun dikembalikan kepada guru yang mengetahui tujuan pembelajaran tersebut.
Nilai Inovatif
Dari hasil observasi dan wawancara dengan pihak sekolah, inovasi-inovasi pendidikan yang banyak dilakukan di SMA Plus Muthahhari adalah inovasi kurikulum, proses pembelajaran, inovasi rekrutmen siswa dan inovasi pemberdayaan guru. Ada tiga jenis kurikulum di SMA Plus Muthahhari Bandung, yaitu Kurikulum Diknas, Kurikulum Yayasan dan Kurikulum Siswa. Dalam prakteknya, sekolah membagi Kurikulum Diknas menjadi dua kelompok pelajaran dengan proses yang berbeda, yaitu: pelajaran reguler dan pelajaran Test Out.
Nilai Diversity
Nilai budaya kualitas lain yang menjadi keyakinan kepala sekolah dan diimplementasikan dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah adalah budaya diversity. Kang Jalal melihat walaupun umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas, namun benturan dan konflik kekerasan masih sering terjadi, mulai antar individu, anta relit, antar kelompok, antar kampung hingga antar agama. Terutama pasca tumbangnya rezim Orde Baru, aksi terorisme dan radikalisme Islam kian merebak di Indonesia.
Menyadari akan kondisi seperti ini, maka Kang Jalal merasa perlu melakukan pembinaan kehidupan beragama yang inklusif dan pluralis di sekolahnya. Perlunya prinsip diversity yang menghargai perbedaan untuk diintegrasikan ke dalam fungsi sekolah menjadi landasan pemikiran pendidikan kepala sekolah.
Keragaman orang dan budaya sikap yang hendak dibangun kepala sekolah dalam diri setiap siswa dan guru adalah sikap saling menghormati satu sama lain, menghargai perbedaan, mau saling belajar, membiasakan hidup dalam perbedaan, dan senantiasa menerapkan prinsip agree in disagreement.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian di lapangan, penelitian ini menghasilkan temuan. Pertama bahwa karakter kepemimpinan di SMA Plus Muthahhari adalah Kepemimpinan Spiritual Etis Religious. Kedua, kontribusi pengembangan budaya kualitas yang dilakukan pemimpin sekolah adalah upaya spiritualisasi organisasi (sekolah). Ketiga, nilai dasar kualitas yang dikembangkan adalah nilai dasar holistik.***
Dr Erba Rozalina Yuliyanti, Dosen Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Artikel pernah tayang 4/3/2019 dan ditayang ulang hari ini. Artikel merupakan ringkasan dari Disertasinya mengenai Sekolah Muthahhari di Bandung; pernah diseminarkan di Yayasan Muthahhari bersama KH Dr Jalaluddin Rakhmat dan Ustadz Miftah F. Rakhmat.