Salam wa rahmah.
Bismillahirrahmanirrahim.
Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa AliSayyidina Muhammad.
Saudara-saudaraku yang berkumpul sekarang ini di aula Muthahhari. Semoga sehat dan bahagia, dalam kerinduan tak terkira pada Sayyidis Syuhada.
Orang Inggris berkata, "It is the last straw that breaks the camels back." Adalah jerami terakhir yang meretakkan punggung unta.
Saya merasakannya. Bukan pada kaki yang berjalan membelah Najaf hingga Karbala. Saya bersyukur ya Allah untuk setiap langkah itu. Untuk setiap tetes keringat dan peluh itu. Untuk setiap kebaikan dan keramahan penduduk menyambut kami.
Bagaimana tidak, mereka serahkan segalanya, bagi para peziarah Imam yang sangat mereka cintai. Tradisi yang sudah membudaya lebih dari seribu tahun telah membentuk jatidiri. Mereka punya kebanggaan. Sungguh kami bersaksi mereka sebaik-baiknya tuan rumah yang memuliakan tamu. Penuh perhatian dan penghormatan.
Anak-anak kecil sudah dikenalkan pada kecintaan itu. Mereka panggil kami lembut, "Selamat datang wahai peziarah. Selamat datang wahai pecinta Abi Abdillah..." Kami disambut. Makanan tak henti menunggu. Minuman tersedia sepanjang jalan: teh, kopi, susu. Apa saja yang kau mau.
Menteri transportasi Irak menyebutkan jumlah peziarah tahun ini mencapai angka 26 juta orang. Bayangkan, setiap hari penduduk bangsa yang besar ini menyediakan makan pagi, siang dan malam untuk 26 juta orang. Adakah kerelaan berkhidmat yang lebih besar dari itu? Tanpa mengeluh, tanpa mengaduh. Tapi apa yang kami lakukan setelahnya?
Hari ini, Arba'in Husaini. Saudara pasti berharap berada di tempat ini, di tempat kami sekarang ini. Menyampaikan salam belasungkawa pada Sayyidis Syuhada dan kafilah Karbala. Telah kami lakukan itu, mewakili setiap mereka yang memendam rindu. Setiap teriakan Labbayka ya Husain di ruangan berkumpul saudara, setiap salam pada Abi Abdillah dalam angkat tangan itu. Telah kami sampaikan dalam tetesan dan linangan air mata kami. Tapi, maafkan saudaraku, maafkan diri yang rendah ini. Jerami terakhir itu telah mematahkan punggungku.
Hari ini, 26 juta peziarah menyemut pada satu titik. Pada tiang cinta. 1452 banyaknya dari titik yang pertama. 50 meter jarak di antaranya. Telah kami tempuh jarak itu. Dan bahkan lebih jauh lagi. Tuan rumah dengan seluruh kebaikan hatinya menyediakan bagi kami tempat tak jauh dari pusara Abi Abdillah as, tempat tumpah seluruh rindu.
Jerami terakhir itu telah mematahkan punggungku. Setiap satu di antara saudara, pasti berharap ada di tempatku. Tak sampai jarak dua tiang antara kami dan istana cinta itu. Tapi apa yang aku lakukan?
Saudara, maafkan aku. Tak sanggup aku menembus barikade jutaan pecinta itu. Tak kuasa aku terombang-ambing di antara desakan khalayak itu. Apa daya kaki berat melangkah, justru di detik terakhir itu. Telah kami tempuh kilometer jauhnya. Berapa langkah yang tersisa terasa oh amat jauhnya. Terasa oh amat jauhnya...
Maafkan aku ya Imam. Kusampaikan salam padamu dari luar istana. Pada kubah keemasan yang mengibarkan bendera hitam. Bukankah hari ini harusnya aku di haribaanmu? Bukankah saat ini mestinya aku tersungkur di pusaramu? Maafkan aku ya Imam. Bahkan shalat lima waktu tak mampu kulakukan di halamanmu.
Sayangi kelemahan diriku. Dadaku yang menjerit saat terhimpit. Kaki yang berusaha mencari pijakan. Tulang punggung yang tak mampu memikul tekanan. Bagaimana mungkin mengaku mencintaimu, tubuh ringkih ini tak sanggup menahan itu. Maafkan aku. Bukan aku pamit mundur ya Imam...ampuni kekurangan adab dan kesopanan.
Dan ingatanku terbang jauh padamu saudara. Di bawah kubah keemasan Imam kuceritakan kisah para perindunya, yang tertahan bahkan dari mengungkapkan duka kepadanya. Dari mereka yang berkumpul seperti saudara, di aula Muthahhari dan yang semisalnya.
Aku teringat, lima tahun lalu. Pesawat yang membawaku terbang ke Najaf terpaksa berbalik arah. Badai padang pasir tak memungkinkan pesawat untuk mendarat. Seorang nenek tua, tak mau bergerak. Ia kukuh memegang kursi. Katanya berulang-ulang: bawa aku ke Najaf, bawa aku ke Karbala. Hingga pilot datang membujuknya, "Bu, tahukah Ibu ziarah yang diterima? Adalah ziarah yang tertahan untuk sampai ke sana, sedang hati sampaikan salam cinta."
Aduhai Imam kami, mohon ampuni ketidaktahuan diri. Telah kusampaikan salam mereka yang mengenang Arbainmu di negeri kami. Izinkan aku memohon pada mereka kini, agar mereka sertakan nama kami. Sertakan kami dalam ziarah Bapak dan Ibu. Sungguh melihat lautan massa yang bergerak lambat tak terkira, yang kulihat di langit Karbala adalah setiap wajah saudara. Setiap salam, rindu dan doa, yang berkelebat dengan cepat, menembus lautan massa yang bergerak lambat, menyelinap di antara manusia, bergerak berkelok dengan gesitnya, cahaya berpendar alangkah indahnya...dan sampailah ia di pusara kemerahan Abi Abdillah as.
Adalah ziarah Ibu dan Bapak yang sampai ke sana. Adalah salam dan rindu Ibu dan Bapak yang jatuh dalam pelukannya. Adalah cinta Ibu dan Bapak yang menerangi langit Karbala. Lalu ia memandang kami di bawahnya, penuh rasa malu, penuh rasa hina.
Dari Karbala kami sampaikan doa. Kami sampai juga membawa cinta, hanya untuk kembali pada titik yang pertama.
Bukankah seorang guru pernah bertanya pada muridnya, berapa banyak huruf pada kata 'cinta'. Anak itu berteriak: enam. Semua yang mendengar tertawa. Kemudian mereka mendengar ia mengeja: H_u_s_a_i_n. Husain! Enam bukan?
Ah, aku masih harus mengeja huruf yang pertama. Ampuni aku mawla...ampuni aku. Salam shalawat dan rindu, senantiasa kuhatur untukmu.
Karbala, Arbain Husaini 1437 H.
[Miftah F.Rakhmat]