Namun begitu, dari sisi Allah, semua kata, ayat, dan surah, keyakinan akan keistimewaannya tidak boleh dibeda-bedakan oleh kita. Semuanya adalah firman Allah Swt. yang wajib kita yakini sebagai amat istimewa. Pengingkaran tekstual terhadap —bahkan hanya— satu kata dari ayat Al-Quran sebagai firman Allah akan melahirkan konsekuensi kekufuran. Walaupun pengingkaran juga bisa berarti penolakan terhadap dimensi fungsionalnya.
Maksudnya, boleh jadi keseluruhan Al-Quran itu secara tekstual diyakini sebagai firman Allah Swt., tapi keyakinan demikian tidak menjamin difungsikannya keseluruhan itu oleh kaum Muslim dalam seluruh dimensi kehidupan mereka. Terutama, menyangkut dimensi sosial-kultural, politik, dan ekonomi. Hal itu bukan karena ketidakmampuan atau kurangnya pemahaman mereka untuk memfungsikan Al-Quran dan Sunnah Rasul, melainkan lebih disebabkan oleh lemahnya kehendak mereka untuk memfungsikan keduanya. Tidak salah jika Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa Islam itu rusak bukan karena orang-orang di luar Islam, melainkan karena ulah mereka yang mengklaim dirinya sebagai para penjaga Islam.
Tidak bisa ditolak bahwa realitas menunjukkan bagaimana pola sistem hidup masyarakat Muslim dunia dalam sistem negara kebangsaan masing-masing —dengan sedikit kekecualian, dalam arti kuantitas dan kualitas, secara sosial-kultural, politis, dan ekonomis— justru tersubordinasi kepada sistem kehendak dan gagasan yang cenderung tidak sejalan dengan sistem Al-Quran. Banyak yang menjauh dari Al-Qur’an, dan banyak juga yang malah merasa alergi dan phobi terhadapnya.
Slogan Islamisasi yang sering kita dengar hingga saat ini, dalam segala bidang termasuk IPTEK, seperti tumbuhnya perbincangan mengenai epistemologi dan aksiologi Islam, jelas menjadi petunjuk atas ketidakjelasan realitas pola hidup masyarakat Muslim dengan pandangan dunia Al-Quran.
Belakangan juga, dalam arti fenomena ritual yang berkesadaran normatif-Islami, kita sedang menyaksikan petunjuk-petunjuk itu pada fenomena seperti meningkatnya kesadaran di kalangan kaum wanita Islam untuk berbusana Muslimah. Menariknya, itu justru terjadi pada saat-saat sedang ditingkatkannya gempuran globalisasi mode dunia yang menawarkan hedonisme, epikurianisme dan pragmatisme melalui teknologi komunikasi yang didewakannya. Dalam arti ekonomikal, kita melihat adanya kehendak mendirikan bank tanpa bunga. Dalam arti fenomena intelektual, kita menyaksikan tumbuhnya kelompok-kelompok kajian dan studi keislaman, terutama di pusat-pusat kegiatan ilmiah di berbagai kota besar dunia Islam. Di Barat tumbuh lembaga-lembaga studi Islam, diskursus, diskusi, seminar, dan konferensi tentang sistem filsafat, pengetahuan, serta sistem sosial-budaya, politik, dan ekonomi Islam. Menarik bahwa semua kegiatan itu sudah melibatkan semua kalangan yang berlatar belakang disiplin keilmuan yang berbeda di antara kaum Muslim.
Dengan kata lain, pembicaraan mengenai Islam bukan lagi menjadi monopoli kaum “ulama” dalam arti tradisional, melainkan sedikit banyak telah mengemuka dengan keterlibatan, dalam pengertiannya yang konvensional, baik para seniman, budayawan, ilmuwan, politisi, teknokrat, bahkan birokrat Muslim. Tidak terlalu salah jika realitas fenomenal ini kita pandang sebagai secercah optimisme bagi masa depan Islam dan kaum Muslim yang sedang menghadapi “perang intelektual” (al-ghazw al-fikri) atau —meminjam istilah Huntington— “benturan peradaban”.
Lebih dari itu semua, yang juga tidak bisa ditolak adalah bahwa menjelang akhir abad ke-20 ini, telah lahir sistem kehendak dan gagasan Islam dalam arti ideologis-politis. Untuk menyebut beberapa contoh yang juga biasa disebutkan oleh para futurolog Muslim, adalah fenomena Revolusi Islam Iran, eksistensi FIS Aljazair, kemenangan para pejuang Muslim Afghanistan (walaupun kemudian di antara sesama mereka terjadi usaha saling berebut “kue kemenangan”), bahkan tragedi kemanusiaan Bosnia yang diprakarsai Serbia (baca: persekongkolan dunia Barat), justru di jantung dunia Barat yang mengklaim paling concern terhadap hak-hak asasi manusia.
Kembali kepada surah Al-Fatihah. Jumlah ayat surah ini, menurut orang yang memasukkan basmalah ke dalamnya, adalah tujuh ayat. Sementara menurut orang yang tidak memasukkannya, seperti mazhab Hanafi, jumlahnya adalah enam. Oleh sebab itu, bagi yang memandangnya tujuh ayat, Al-Fatihah dipandang sejalan dengan hadis yang mengatakan bahwa surah Al-Fatihah adalah Al-Sab‘ Al-Matsâni, seperti yang akan dikutip penulis kemudian.
Menurut hadis riwayat Muslim, setiap sebuah surah Al-Quran yang diturunkan, Rasulullah Saw. selalu memulainya dengan basmalah. Artinya, penulis berpendapat, bahwa basmalah merupakan bagian dari setiap surah, kecuali surah Al-Bara’ah (Al-Taubah). Sebuah riwayat dari Daruquthni dan Abu Hurairah menyatakan, “Rasulullah Saw. bersabda: Jika kalian membaca surah Al-Fatihah, maka bacalah bismillâhirrahmânirrahîm. Al-Fatihah adalah Umm Al-Quran (Induk Al-Quran) dan Al-Sab` Al-Matsâni (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang). Dan bismillâhirrahmânirrahîm merupakan salah satu dari ayat-ayatnya.
Karena keistimewaan di atas, pembacaan surah ini dalam salat, baik salat fardhu maupun salat sunnat, secara legal menentukan sahnya salat seseorang. Kesimpulan demikian hampir disepakati oleh banyak (jumhur) ahli hukum Islam (fuqaha). Dasarnya adalah sunnah qawliyah (verbal) berikut: “Lâ shalâta liman lam yaqra’ bifâtihah al-kitâb (tidak sah salat yang di dalamnya tidak dibacakan surah Al-Fatihah) (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dikutip dari Wahbah Al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 1:649).
Ada pun mereka yang tidak mewajib-kannya adalah mereka yang berpegang kepada ayat “Faqra’û mâ tayassara min al-qur’ân (Maka bacalah apa yang mudah kalian baca dari Al-Quran”), dan hadis “Lâ shalâta illa biqirâ’ah (tidak sah salat kecuali dengan bacaan Al-Quran)”, seperti dipegang oleh mazhab Hanafi (Al-Durr Al-Mukhtar wa Radd Al-Mukhtar, 1:415; Fath Al-Qadir, 1:192); Al-Badâ’i, 1:110; Tabyîn Al-Haqâ’iq, 1:104; dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah Al-Zuhaili, 1:645). Begitu juga, menurut mazhab Hanafi, basmalah tidak termasuk ayat selain dalam pertengahan surah Al-Naml (Wahbah, 1989, 1:646).
Berdasarkan uraian di atas, maka logislah jika surah Al-Fatihah merupakan surah yang paling banyak dibaca dan dihafal di luar kepala oleh kaum Muslim. Bahkan tidak sedikit anak-anak balita Muslim di seluruh dunia yang sudah menghafalnya, kendatipun mereka belum wajib mengerjakan salat. Bahkan, tidak sedikit kaum Muslim yang menjadikan surah ini sebagai bacaan yang biasa dikirim kepada Muslim yang sudah meninggal dunia, padahal boleh juga kepada Muslim yang masih hidup.
Dengan melihat posisi istimewa surah Al-Fatihah seperti itu, sangatlah penting bagi umat Islam untuk memahami tafsir konseptual surah ini. Bisa dalam rangka tajdid al-fahm (pembaruan pemahaman), tabarruk (meraih berkah), tafaqquh (pendalaman), atau tafakkur (perenungan) terhadap firman-firman Allah Swt. yang sering kita baca ini.
Tema-tema Kunci Surah Al-Fatihah
Ayat-ayat dalam surah Al-Fatihah mengandung tema-tema kunci, yaitu: ism (dalam basmalah), ilâh (ayat 1), rahmân (Maha Penabur rahmat umum), rahîm (Maha Penabur rahmat khusus) (ayat 1 dan 3), hamd (pujian), rabb dan ‘âlamîn (ayat 2), mâlik (raja) dan dîn (pembalasan, agama, perhitungan) (ayat 4), ‘ibadah dan isti‘ânah (ayat 5), hidayah dan shirâth (ayat 6), ni‘mah (kenikmatan), ghadhab (kemurkaan) dan dhalâlah (kesesatan). Itulah beberapa tema yang penulis pandang sebagai tema-tema kunci dalam surah Al-Fatihah. Tema-tema inilah yang akan menjadi pokok dalam tulisan ini, yang rencananya memang ingin dibahas dalam sebuah buku.
Nama dan Atribut Tuhan:
Refleksi Teosofis Islam atas Basmalah
Dalam kalimat bismillahirrahmanirrahim terkandung empat konsep, yaitu ism, Allah, Rahman, dan Rahim. Empat konsep ini akan dibahas satu per satu. Tapi dalam tulisan ini hanya akan dibahas satu konsep saja, yaitu ism, itu pun secara singkat.
Tafsir Tematik-Konseptual Basmalah
Ism. Kata ini didahului dengan huruf-maksur (berharakat kasrah). Huruf “bi” ibtidâ’ (permulaan) dalam basmalah surah Al-Fatihah ini, menurut Thabathaba`i, mengandung maksud “penyempurnaan keikhlasan pada maqam ubudiyah” (Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran, 1983, I:17). Sedangkan ism artinya nama. Ia berasal dari kata samah yang berarti `alâmah (tanda), atau sumuww yang berarti rif`ah (keluhuran). Sehubungan dengan penafsiran ism ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, ism (nama) ditafsirkan sebagai ghayr al-musamma (sebagai yang berbeda dengan yang diberi nama). Dengan kata lain, pendapat pertama ini mengatakan bahwa Zat bersifat eksternal dari ism; ism dipandang sebagai yang termasuk alfâzh, bukan termasuk ayân (korporealitas-transendental).
Kedua, ism ditafsirkan sebagai Zat, namun bukan Zat itu sendiri; ism termasuk ke dalam a‘yân (korpo-realitas), walaupun masih dipahami sebagai bersifat eksternal dari Zat-Nya itu sendiri. Pengertian ini termasuk ke dalam pengertian terminologis kaum Asy’ariah.
Ketiga, ism ditafsirkan sebagai Zat itu sendiri, sebagai yang juga biasa disebut dengan istilah ism saja. Pendapat ini juga mensintesakan pendapat sebelumnya. Yakni, menerima penafsiran ism secara etimologis (lughawi), sebagai ghayr al-musammâ (seperti menurut pendapat yang pertama), yang biasa juga disebut ism al-ism, dan menolak pendapat yang kedua.
Ada pun alasan mengapa kata ism dalam basmalah itu ditafsirkan sebagai Zat adalah karena kedekatan ism (nama) itu kepada Zat yang ditunjukkannya. Dalam hal ini Zat itu dinamai Allah.
Selanjutnya, mengenai penafsiran nama-nama yang menunjukkan sifat-sifat Zat, terdapat dua pendapat:
Pertama, pendapat yang memandang bahwa nama-nama yang menunjuk-kan sifat-sifat Zat itu sebagai tetap eksternal dari Zat Ilahi. Namun pendapat ini memandang sifat-sifat itu tetap Tak Terbatas di samping Zat yang juga diyakini sebagai Yang Tak Terbatas. Anehnya, mereka tidak memandangnya sebagai politeisme (syirik) terhadap Yang Tak Terbatas.
Kedua, pendapat yang memandang-nya sebagai Zat itu sendiri. Dengan logika tawhîd al-dzât (tauhid Zat), maka pendapat kedua, menurut hemat penulis, lebih bisa diterima. Masalahnya, penafsiran bahwa sifat Allah Yang Tak Terbatas itu berada di luar Zat Allah Yang Tak Terbatas. Menurut penafsiran kaum Asy‘ari, secara dialektis penafsiran tersebut akan melahirkan politeisme Yang Tak Terbatas (syirik). Kecuali jika sifat-sifat Zat itu dipandang tak terbatas. Namun, jika demikian penafsirannya, maka yang akan menjadi cacat adalah monoteisme Zat. Logikanya, jika Zat Yang Tak Terbatas itu memiliki sifat yang terbatas, maka Zat Yang Tak Terbatas itu menjadi memiliki sifat yang terbatas. Artinya, sifat keterbatasan itulah yang akhirnya membatasi ketakterbatasan Zat. Dan ini tentu merupakan kesimpulan yang tidak sejalan dengan monoteisme (tauhid) Islam.[]
(Artikel ini pernah dimuat dalam Buletin Al-Tanwir, Nomor 109, Edisi 10 Pebruari 1998)