Siapa Khawarij ini? Mereka awalnya adalah pengikut salah seorang dari 3 pemimpin yang sedang mereka rencanakan pembunuhannya itu, Ali bin Abi Thalib, Khalifah yang sah pada saat itu, tapi mereka tak setuju pada kesediaan sang khalifah untuk menoleransi tahkîm (arbritase) antara sang Khalifah dengan musuhnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan melalui orang yang ditunjuknya, yakni ‘Amr bin ‘Ash. Mereka melihat Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap kekhalifahan yang sah (bughat), maka tak ada cara lain kecuali bahwa ia harus diperangi. Inilah, menurut mereka, hukum Allah sebagaimana tertulis dalam kitab suci al-Qur’an. Dan, laa hukma illal-Lah (tak ada hukum kecuali hukum Allah). Akibat tak ditaatinya hukum Allah itu, chaos (fitnah) pun berkepanjangan, dan kini terdapat dualisme pemerintahan di tengah kaum Muslim. Dan, karena tak mau mengikuti hukum Allah, tak urung sang Khalifah pun dianggap kafir. Demikian pula Mu’awiyah sang pemberontak dan ‘Amr bin ‘Ash. Maka, selain sang Khalifah, mereka pun mengirim orang untuk membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash.
Fenomena Khawarij menandai terbentuknya fenomena takfirisme (takfiriyah) dalam Islam. Yaitu perumusan suatu doktrin pengkafiran yang mereka percayai mereka dasarkan pada ajaran al-Qur’an. Suatu doktrin yang menyebabkan seorang Muslim yang shalat menghadap kiblat yang sama, melakukan berbagai kewajiban keagamaan, memiliki rukun-rukun kepercayaan yang sama, dapat dianggap sebagai kafir. Bukan hanya itu, bahkan menjadi halal darahnya akibat pemberian status kafir itu.
Akhirnya sejarah mencatat, mereka gagal membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash, tapi berhasil menikam dan membunuh Khalifah Ali ketika sedang shalat Subuh di Masjid.
Dua sampai tiga hari Khalifah Ali masih bertahan hidup sebelum akhirnya wafat. Di hari-hari itu Khalifah sempat memberikan wasiat kepada kedua anaknya: Hasan dan Husain. Dan di antara wasiatnya adalah: “Orang-orang (Khawarij) ini masih akan terus dilahirkan dari tulang-tulang sulbi ayah mereka.”
Sekarang, marilah kita lihat problem takfirisme dalam Islam ini dari perspektif doktrinal-historis dan geopolitik global.
Doktrinal-Historis
Para ahli fenomenologi agama menunjukkan adanya dua cara dalam melihat dan memahami agama. Yakni sebagai agama berorientasi hukum (nomos/law oriented religion) dan agama berorientasi cinta (eros/love oriented religion). Karena pada dasarnya setiap gagasan, tak terkecuali gagasan keagamaan, adalah tafsir atas teks, maka cara pandang—saya cenderung menyebutnya sebagai paradigma—seperti ini membentuk cara tafsir terhadap doktrin sebagaimana terkandung dalam teks-teks keagamaan. Yang pertama cenderung melihat agama—Tuhan, Nabi, dan ajaran—sebagai didominasi oleh sifat-sifat keras yang meyisihkan (eksklusif), sementara yang kedua melihat agama sebagai wadah manifestasi cinta—cinta Tuhan kepada alam semesta, dan sebaliknya cinta alam semesta kepada Tuhan.
Secara alami, cara yang kedua ini menjadikan agama mengutamakan kedamaian dan inklusifisme. William Chittick, seorang ahli tasawuf, ketika membahas pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi, menyebutnya sebagai hermeneutics of mercy (hermeneutika kasih-sayang). (Untuk pembahasan terinci mengenai masalah ini, sila baca tulisan saya “Islam : Religion of Love and Mercy”, atau beberapa bab dalam buku penulis Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Mizan, 2013).
Nah, doktrin takfiriyah dapat dengan mudah dilacak sebagai berakar pada cara pandang terhadap agama yang menekankan pada aspek-aspek keras hukum-hukum keagamaan ini. Sebagai akibatnya, berkembang sikap eksklusif dalam bentuk kecenderungan untuk mengeluarkan kelompok lain dari apa yang diyakini sebagai umat pemeluk agama.
Lebih dari itu, muncul pula dengan kuat rasa keharusan untuk menghukum orang-orang yang dianggap sebagai membangkang terhadap ajaran Tuhan (kafir) ini dan, kalau perlu, mencabut hak mereka untuk hidup di bumi-Nya. Sedemikian kerasnya sikap takfiriyah seperti ini, kelompok Khawarij awal cenderung memperlakukan sesama Muslim, yang tidak sejalan dengan cara pandang mereka mengenai Islam, secara lebih buruk daripada perlakuan mereka terhadap kelompok non-Muslim yang mereka anggap melakukan syirik (musyrik mustajîr).
Belakangan, fenomena serupa muncul ketika terbentuk Salafisme awal, dengan Ibn Taimiyah sebagai tokoh utamanya. Meski mengklaim mengikuti generasi Muslim awal—figur-figur terkemuka dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabiin hingga abad ke-2 hijriah—pada praktiknya Salafisme cenderung mengikuti mazhab Hanbali yang cenderung ketat dan literal.
Persoalannya adalah—seperti dicatat oleh para pengamat terhadap mazhab Hanbali, termasukSyaikh Hasan Farhan al-Maliki, seorang alim dari Arab Saudi di bukunya Qira’ah fi Kutub al-‘Aqidah; al-Madzhab al-Hanbali Namudhajan—sejak zaman Ibn Taimiyah kelompok Islam ini memulai tradisi mengecam hingga mengkafirkan kelompok-kelompok Muslim yang tidak mengikuti pandangan Ibn Taimiyah. Dan ini tidak hanya terbatas terhadap kaum Syiah yang dia serang keras dalam bukunyaMinhaj al-Sunnah, tetapi juga terhadap kelompok-kelompok Sunni lain seperti Asy’ariyah, Hanafiyah, kaum sufi, dan lain-lain. Tradisi pengecaman ini dilanggengkan oleh para murid Ibn Taimiyah, termasuk Ibn Qayyim al-Jauziyah. Syaikh Hasan bahkan mengaitkan Salafisme dengan Nawasibisme, yaitu kebencian terhadap keluarga Nabi (Ahli Bait), yang “kebetulan” amat dimuliakan oleh kaum Syiah.
(Disclaimer: patut diingat bahwa tentu saja pernyataan tentang kecenderungan Nawashibi ini—bahkan kecenderungan takfiri—tidak dapat dinisbatkan kepada semua aliran dalam Salafisme karena mereka memiliki spektrum tersendiri—dari yang paling moderat hingga yang paling ekstrem. Selain itu, perlu juga ditegaskan bahwa kelompok Takfiri ini terpecah-pecah ke dalam banyak kelompok kecil-kecil. Tak jarang yang satu mengafirkan yang lain. Bahkan, sebagian di antara mereka menuduh kelompok lainnya sebagai Khawarij).
Pengertian Takfirisme
Yang pasti, saat ini terbentuk banyak aliran yang seara khusus mengembangkan doktrin tentang takfir seperti ini. Jadi, takfiriyah bukanlah sekadar sikap suka mengafirkan kelompok-kelompok Muslim lain yang bukan kelompoknya, melainkan mengembangkan doktrin khusus elaboratif tentang takfir yang cukup sophisticated berdasar pemahaman mereka tentang ajaran-ajaran agama sebagaimana terbaca dalam teks-teks keagamaan yang ada, baik al-Qur’an, Hadis, maupun pemikiran-pemikiran “kaum salaf”. Mulai dari Kasyf al-Syubuhat karya Muhammad bin Abdul Wahhab, Ma’alim fi al-Thariq karya Sayid Quthb, atau Al-Jami fil-‘Ilmi Asy-Syarif Al-Iman wa Al-Kufr, karya Abdul Qadir bin Abdul Aziz.
Di Indonesia ada buku-buku semacam Aliran-aliran Sesat di Indonesia karya Hartono Ahmad Ja’iz atau Mulia dengan Mazhab Salaf karangan Yazid bin Abdulkadir Jawas. Di dalamnya didaftar puluhan kelompok Muslim yang dianggap sesat. Orang tak dapat menghindar dari kesan bahwa, di mata penulis-penulis semacam ini, hanya kelompok mereka sendiri yang benar dan kelompok lainnya sesat, bahkan kafir.
Jadi takfiriyah bukanlah sekadar pengkafiran, melainkan pengkafiran semua kelompok Muslim yang bukan kelompoknya, yang didasarkan pada upaya perumusan doktrin takfir yang elaboratif dan indiskriminatif. Dan takfir dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada tataran wacana, melainkan selalu dihubungkan dengan keluarnya seseorang dari agama dan ancaman pemusnahan di dunia dan ketidakselamatan di akhirat akibat perbuatan kufur tersebut.
Hal ini berbeda dengan penggunaan istilah takfir pada tataran wacana dan bersifat diskriminatif, yang juga tak disertai ancaman pemusnahan di dunia atau ketidak-selamatan di akhirat. Contoh mengenai ini kita dapati pada kasus pengafiran yang dilancarkan oleh Imam Ghazali kepada para filosof sebagaimana terungkap dalam bukunya Tahafutu l-Falasifah. Jangankan disertai upaya pencabutan hak hidup kelompok yang disebut kafir, bahkan dengan hati-hati Imam Ghazali menjelaskan bahwa kategori kafir yang digunakannya tidak sama dengan kategori yang mengakibatkan si tertuduh kafir dihukumi keluar dari agama.
Sosial-Politik
Dewasa ini terjadi gelombang baru “Salafisasi” di beberapa bagian dari Dunia Islam Sunni, seperti tampak pada kemenangan mengejutkan partai Salafi di Mesir. Belakangan, sikap kaku-keras Salafisme semakin mengkristal akibat kekecewaan mereka atas kenyataan bahwa perjalanan sejarah dari mayoritas Muslim tampaknya cenderung mengakomodasi perkembangan peradaban modern, sesuatu yang dianggap mencemari kemurnian Islam yang mereka promosikan. Perkembangan ini dipandang sebagai ancaman bagi Islam yang mereka yakini, khususnya ketika perasaan ini tercampur dengan perasaan menjadi korban (victimized) oleh negara-negara adikuasa yang “anti-Islam” (yang mereka pandang berkolaborasi dengan kaum Muslim pembuat bid’ah ini, seperti akan disinggung lebih jauh setelah ini).
Takfirisme kontemporer—yang tak lain lahir dari ekstremisme keagamaan—ini kiranya juga dipantik oleh ketimpangan politik dan ekonomi di mana kelompok keagamaan memiliki—atau, setidak-tidaknya dianggap demikian—akses istimewa kepada pemerintahan, kekayaaan, posisi penting di pemerintahan dan kehidupan kultural. Kontestasi pengaruh di dalam tubuh umat Islam ini dipertajam oleh keterlibatan pemerintahan-pemerintahan asing—Amerika dan Eropa—yang tidak ingin kehilangan cengkeramannya di wilayah ini, dengan mendukung rezim-rezim tertentu sejauh dapat mengamankan kepentingan politik dan ekonomi mereka.
Keterlibatan negara-negara superpower ini terbukti sangat berpengaruh dan melanggengkan—jika bukannya memperparah—gejala ekstremisme, dan konflik-konflik sektarian yang lahir darinya. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa, sejak era 1970-an dan 1980-an, berbarengan dengan munculnya fenomena Perang Dingin dan apa yang biasa disebut Kebangkitan Islam, AS (dengan dukungan negara-negara Eropa) berkepentingan untuk memastikan bahwa sebanyak mungkin negara Muslim bergerak di bawah pengaruh orbitnya.
Secara umum, menguatnya takfirisme juga terkait dengan Perang Dingin regional antara Sunni Arab Saudi dan Syiah Iran untuk memobilisasi dukungan regional. Saudi di satu pihak memosisikan diri sebagai pelindung kaum Sunni, sementara di pihak lain, Tehran secara alami mencari sekutu-sekutu di antara komunitas Syiah yang hidup di Lebanon, Irak, dan beberapa negara lain.
Karena alasan inilah Arab Saudi dan beberapa negara Arab dengan senang hati memberikan dukungan finansial kepada kelompok-kelompok konservatif, khususnya, kelompok Salafi, sebagai proxy mereka demi memastikan bahwa kubu Islam anti-Syiah dapat selalu mempertahankan pengaruh dan perannya sebagai pembendung perkembangan aliran Syiah dan ekspansi politik Syiah di negeri-negeri Muslim.
Perkembangan Musim-Semi Arab (Arab Spring) belakangan ini merupakan peristiwa mutakhir yang, sayangnya, justru kian memperparah kecenderungan ekstremisme dan takfirisme di negara-negara seperti Arab Saudi, Bahrain, dan Suriah. Sebagaimana di Indonesia pasca-Reformasi, demokratisasi yang lahir dari Musim Semi Arab ini seolah-olah seperti membuka Kotak Pandora, yang memungkinkan kelompok-kelompok ekstrem Islam—termasuk yang beraspirasi kekerasan, yang tadinya tertahan oleh otoritarianisme yang berkuasa—mendapatkan ruang untuk berkembang bebas.
Dan hal ini, khususnya akibat lemahnya pemerintahan dan persaingan politik dalam negeri, telah memakan korban tragis dalam bentuk pembiaran prosekusi kelompok-kelompok yang lebih moderat oleh para ekstremis-takfiri sebagai tampak di Libya, Aljazair, Mesir (khususnya pasca-kudeta militer), Suriah (di wilayah-wilayah yang di dalamnya kaum Salafi-Jihadis memiliki sebatas tertentu kekuasaan), dan berbagai wilayah lain. ***
Dr Haidar Bagir adalah cendekiawan Muslim