Tujuan khotbah ini ialah memberikan contoh terbaik tentang bagaimana seharusnya kita bergaul dengan orang lain, bagaimana merebut kasih sayang dan cinta. Sebagai orang Islam kita memiliki contoh terbaik yang memberikan teladan buat kita semua. Contoh itu ialah Muhammad. “Sesungguhnya ada pada diri Rasulullah buat kamu contoh yang baik, buat dia yang mengharapkan Allah dan balasan hari kiamat dan banyak mengingat Allah.” (Qs. Al-Ahzab [33]: 21)
Nabi Muhammad saw adalah pemimpin yang paling dicintai pada zamannya dan bahkan setelah ia tiada. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang bagaimana para sahabat mencintainya.
Pada zaman permulaan Islam, suatu hari Abu Bakar berbicara di hadapan orang-orang kafir di Masjidil Haram. Ia dipukuli dan diinjak-injak sampai tidak sadar dan hampir mati. Banu Taim membawanya ke rumahnya. Menjelang malam hari, Abu Bakar membuka kelopak matanya dan mulai sanggup berbicara. Dan apakah kalimat pertama yang diucapkan Abu Bakar setelah dia pingsan sekian lama? Abu Bakar berkata, “Bagaimana keadaan Rasulullah saw?” Ia tidak memperhatikan sama sekali penderitaannya sendiri. Ketika Ummul Khair, ibunya, berusaha memberi makan, Abu bakar berkata,”Demi Allah, saya tidak akan makan dan tidak akan minum apa pun sebelum saya melihat Rasulullah.”
Pada pertempuran Uhud, ketika sejumlah orang Islam terbunuh, seorang wanita Anshar diberi tahu bahwa ayahnya, suaminya, saudaranya, dan anaknya, semua gugur di medan pertempuran. Setelah mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, wanita itu berkata,” Bagaimana keadaan Rasulullah?” Ia diberi tahu bahwa Rasulullah sehat wal afiat, tetapi ia bersikeras untuk melihatnya sendiri. Pada akhirnya, setelah ia menemui Rasulullah, ia berkata,”Ya Rasulallah, segala musibah menjadi kecil setelah aku melihatmu.”
Kita masih memiliki banyak contoh tentang bagaimana sahabat mencintai Rasulullah. Cukuplah di sini dikatakan bahwa bahkan setelah Nabi meninggal, para sahabat menangis bila nama Muhammad disebut di depan mereka.
Marilah kita lihat apa yang menyebabkan Rasulullah dicintai sahabat-sahabatnya. Kecintaan mereka bukan hanya karena iman saja. Kecintaan itu timbul karena cara Rasulullah memperlakukan mereka. Marilah kita lihat bagimana Rasulullah bergaul dengan sahabat-sahabatnya.
Akhlak pertama yang dicontohkan Rasulullah dalam pergaulannya ialah perhatian yang tulus kepada orang lain. Ia lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya. Bila orang berbicara kepadanya, ia mendengarkannya dengan penuh perhatian, dengan menghadapkan seluruh wajahnya kepada orang yang berbicara kepadanya. Pada suatu hari seorang wanita tua menghentikannya di tengah jalan, dan Rasulullah dengan sabar mendengarkan pembicaraan wanita itu. Ia memperbaiki sandal orang miskin, dan memperbaiki baju seorang janda tua. Dalam Min Akhlaqin Nabiy kita membaca contoh perhatian Rasulullah kepada orang lain yang sangat mengharukan. Dalam satu pertemuan, Jabir bin Abdillah al-Bajali tidak kebagian tempat duduk. Rasulullah membuka gamisnya, melipatnya, dan memberikannya kepada Al-Bajali, seraya berkata,”Gunakanlah ini sebagai tempat dudukmu.” Al-Bajali mengambil gamis itu, menciumnya dengan lembut, dan menangis,”Ya Rasulallah, beginikah caranya engkau menghormati sahabatmu?”
Akhlak yang kedua dalam pergaulan Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya ialah kebiasaannya memberikan penghargaan atau pujian. Rasulullah tidak ragu memberikan pujian kepada mereka bila mereka memang layak menerimanya. Jika Anda membaca kitab-kitab hadis tentang kemuliaan para sahabat, Anda akan bingung menentukan mana di antara para sahabat itu yang paling istimewa bagi Rasulullah. Siapa yang lebih merasa mendapat kehormatan daripada Abu Bakar, yang disebut Rasulullah sebagai kawannya yang terbaik, yang dipilihnya untuk menyertainya? Siapa lagi yang merasa lebih terhormat daripada Umar yang disebut Rasulullah sebagai manusia yang paling ditakuti setan sehingga, bila Umar datang dari satu arah, setan akan lari dari arah yang lain? Siapa lagi yang merasa lebih terhormat daripada Usman yang diberi gelar Dzu Nurain, pemilik dua cahaya? Siapa lagi yang merasa lebih terhormat daripada Ali bin Abi Thalib, yang menurut Rasulullah, hubungan Ali dengan Rasulullah sama seperti Harun dengan Musa a.s., hanya saja Ali bukanlah Nabi? Rasulullah mengerti bahwa manusia senang dipuji, senang dihargai, senang diperhatikan bila mereka membuat prestasi.
Ketiga, Rasulullah saw terkenal karena sifatnya yang pemaaf. Kepada mereka yang menganiaya dan membunuh sahabat-sahabatnya, ketika ia memasuki Makkah sebagai pemenang, Rasulullah mengutip ayat Al-Quran:
“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Qs. Yusuf [12]: 92)
Ia membebaskan mereka semua. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Jarir dan Ahmad kita membaca bahwa pada suatu hari seorang Arab pedesaan menarik jubahnya seraya berkata, “Berikan pakaian ini kepadaku!” Dan Rasulullah tersenyum sambil memberikan baju itu kepadanya. Dalam pertempuran Dzatur Riqa, ketika pedang yang hampir membunuh Rasulullah terlepas dari tangan musuhnya, Rasulullah mengambil pedang itu dan membebaskan pembunuh yang gagal tersebut.
Marilah kita catat dalam hati bagaimana sebaiknya kita bergaul dalam kehidupan sosial dengan saudara-saudara kita seperti yang kita pelajari dari kehidupan Rasul. Pertama, pikirkanlah saudara-saudara kita lebih banyak daripada diri kita sendiri. Kedua, jangan ragu-ragu memberikan penghargaan jika ia layak menerimanya. Ketiga, lupakan kesalahan mereka, dan maafkan mereka. Hanya dengan cara inilah kita dapat melahirkan persaudaraan yang lebih tulus, lebih jujur, dan lebih menyenangkan.
Marilah kita ubah bangsa asing ini menjadi bangsa Saudara, bangsa yang berdasarkan persahabatan yang dangkal menjadi bangsa yang menghidupkan persaudaraan sejati. Abul A’la Al-Maududi dalam Islam Today berkata bahwa umat Isalm permulaan bukan hanya menaklukkan negeri dan daerah, melainkan juga hati dan jiwa. Bangsa-bangsa yang ditaklukkan mereka menjadi pengagum dan pencinta mereka dan bukan budak dan pembantu mereka. Umat Islam permulaan mempraktekkan semua yang dipelajari mereka dari Rasulullah saw. Giliran kitalah hari ini untuk melakukan hal yang sama. []
Sumber buku Jalaluddin Rakhmat, “Khotbah-khotbah di Amerika” (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993; hal. 35−40).