Tebaklah siapa yang menulis paragraf di atas? Kaum Muslim liberal yang sudah dikooptasi oleh Kristen internasional, atau kaum Muslim intelektual yang sudah menjadi agen zionisme, atau barangkali kaum apologetik Muslim yang membela toleransi umat Islam dalam dialog antar umat beragama? Tidak sama sekali. Penulis kutipan itu adalah Tor Andrae, profesor sejarah agama dan sekaligus seorang bishop dari Gereja Lutheran di Linkoeping, Swedia. Andrae mengisahkan kerjasama Muslim-Kristen yang rukun selama ratusan tahun. Dan itu terjadi ketika kaum Muslim memegang hegemoni politik.
Dalam In The Garden of Myrtles, Andrae menjelaskan sikap bersahabat kaum Muslim itu bukan saja dengan merujuk pada Al-Quran dan sunnah Nabi, tapi juga tradisi para ulama terdahulu (salaf yang salih). Disebutkan bahwa menurut Ibn Abbas, para rahib Kristen adalah orang-orang yang menghindari para tiran dan masyarakat yang korup untuk mempertahankan kemurnian agamanya. Mereka tinggal di tempat terpencil dan gua-gua untuk menjalani kehidupan yang suci. Ketika Abu Bakar mengirimkan tentaranya ke Syria, di mana tinggal banyak rahib seperti itu, ia berkata:Di sana kamu akan menemukan orang-orang yang sudah mengurung dirinya di ruang-ruang sempit. Jangan ganggu mereka. Mereka mengasingkan dirinya karena Allah.
‘Ali bin Abi Thalib berkata kepada sahabatnya: Hai Nauf, berbahagialah orang yang menanggalkan dunia ini dan merindukan hari akhirat. Merekalah orang-orang yang menjadikan tanah sebagai tikar pembaringannya, debu sebagai tempat istirahatnya, air sebagai wewangiannya dan Al-Quran serta salat sebagai busananya. Mereka tinggalkan dunia untuk mengikuti jalan Isa.
Menurut Andrae, kelompok kaum Muslim, yang banyak merujuk pada jalan Isa sambil berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah saw adalah kaum sufi. Mereka menghindari perdebatan teologis dan memusatkan perhatiannya pada upaya mendekati Tuhan lewat Cinta. “Ketika Tuhan mencintai hamba-Nya, ia membukakan kepadanya pintu amal saleh dan menutup pintu perdebatan teologis,” kata Ma`ruf Al-Karkhi, salah seorang guru besar tasawuf.
Andrae tampak sangat setuju dengan ucapan para sufi itu. Ia menganggap agama yang berhenti pada spekulasi teologis adalah agama yang gersang, tanpa makna, dan akhirnya menimbulkan konflik sosial. Ketika berbicara tentang tasawuf, Andrae sang bishop menanggalkan seluruh pakaian teologisnya. Ia masuk ke dalamnya dengan seluruh emosinya. Ia loncati pagar teologis yang memisahkan Kristen dan Islam. Ia bukan saja mengamati tasawuf, tetapi juga mengalaminya. Maka, dalam tasawuf Islami, ia menemukan bukan saja keimanan Islami tetapi juga keimanan Kristiani.
Setelah menceritakan bagaimana ia terpesona dengan para sufi, Andrae menulis pada akhir kata pengantarnya: Ketika membaca kata-kata sufi, aku merasakan pengalaman yang aneh tetapi sekaligus familiar. Kulihat wajah orang asing dan kutemukan sahabat. Kudapatkan ucapan mereka menyegarkan kembali keimananku. Telah kulihat pancaran sinar dari sumber cahaya yang kuketahui, walaupun sudah dipantulkan lewat prisma baru.
Karena sikapnya yang sangat simpatik kepada Islam, banyak koleganya bingung. Sangat sulit dipahami bagaimana seorang Andrae yang bishop bisa membela Islam lebih dari para penganutnya. “To many, it is no doubt practically inconceivable that the same person could sustain both the identities without the one exercising a destructive influence on the other,” kata Eric Sharpe yang menulis biografinya.
Bagi banyak orang Islam juga, sangat sulit dipahami bagaimana Al-Quran dan Sunnah memuji para rahib Kristen, bagaimana para salaf memperlakukan mereka dengan penuh penghormatan; lebih-lebih bagaimana para sufi dulu belajar kesucian dari para rahib Kristen dan para rahib kini belajar kecintaan kepada Tuhan dari para sufi. Tapi, betapa pun gejala keberagamaan seperti ini sulit dipahami, kita tengah menyaksikan banyak pemikir Kristen menyegarkan iman Kristianinya dengan tasawuf dan banyak pengamal tasawuf yang memandang umat Kristiani sebagai sejawatnya dalam kafilah cinta Ilahi. ***
Jalaluddin Rakhmat adalah Ketua Dewan Syura IJABI dan Dewan Pembina Yayasan Muthahhari