Dari pesantren di Teheran ia belajar sastra arab, ilmu sharf dan nahwu. Kemudian melanjutkan ke pesantren di Qum hingga sampai ke jenjang tingkat tinggi fiqih dan ushul.
Ceramah-ceramahnya, mungkin bagi yang baru mendengar atau bagi generasi-generasi gen z terasa monoton, lambat dan membosankan tanpa ilustrasi-ilustrasi yang menarik namun bagi orang yang benar-benar mencari ilmu mencari makrifat yang keluar dari lubuk hati seorang alim yang menurut sehat Hakim ketua ICC di Jakarta telah mencapai makam 'wasil' bagaikan siraman oase yang menyegarkan.
Ceramah ustadz Husain Ansariyan dari hati yang menembus ke hati. Lahir dari bashirah yang dapat menembus lapisan batin audience. Kata Rumi sehati lebih manis dari sebahasa.
Kalau saja lama beliau tinggal di Indonesia maka beliau akan dijadikan Mursyid bagi kaum muslimin di tengah-tengah kelangkaan para Mursyid adalah makhluk langka di negeri kita ini.
Ia juga seorang ulama Kosmopolitan yang membuka dirinya lewat media sosial seperti Facebook, YouTube, Instagram, telegram dan WhatsApp. Ia lebih memilih jalan pencerahan lewat akhlak dan Irfan bukan jalan lewat hukum hukum Tuhan. Sebuah hadis mengatakan fakih yang sejati adalah yang berusaha tidak membuat manusia putus asa.
Walaupun hanya beberapa hari di Indonesia tapi saya yakin ia telah menorehkan kesan mendalam di hati generasi muda tentang kekuatan seorang ilmuwan yang membaktikan dirinya dalam bidang ke ilmuan (field of knowledge) dan penyebaran ilmu (diseminasi). Seorang ulama tua yang tidak pernah membiarkan dikuasai kelemahan dan kerentaan tubuhnya. ***
Nano Warno, Ph.D., adalah Dosen STAI Sadra Jakarta