Saya perjelas lagi dengan contoh berikut ini. Misalkan saya bercerita tentang penciptaan manusia. Ada kisah yang sudah diketahui hampir oleh setiap yang membaca cerita Nabi Adam dan Siti Hawa. Yaitu tatkala Tuhan memerintahkan seluruh malaikat untuk sujud pada mereka. Semua malaikat sujud. Satu yang membangkang: Iblis. Pertanyaannya adalah: apakah Iblis termasuk malaikat? Kita akan segera menjawab: Tidak. Tapi, mengapa dia dihukum Tuhan karena tidak taat? Bukankah perintah sujud itu hanya untuk para malaikat? “Dan ketika kami perintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam, semuanya sujud kecuali Iblis.” Begitu bunyi firman sucinya. Apakah mungkin sesuatu dikecualikan dari yang bukan kelompoknya?
Kalau saya berkata: seluruh keluarga saya sehat kecuali nenek saya. Apakah nenek saya bagian dari keluarga saya? Iya. Seluruh pemain Barcelona datang ke Indonesia kecuali Andreas Iniesta. Apakah Iniesta termasuk pemain Barcelona? Iya. Sekarang: “Seluruh malaikat bersujud pada Adam kecuali Iblis.” Apakah Iblis malaikat?
Mungkin menjawab pertanyaan itu perlu pengantar lebih dahulu. Belum saatnya. Belum waktunya. Bukan materi kajian untuk dibicarakan begitu saja. Harus kita pahami dan telusuri lebih jauh lagi. Selalu ada ruang yang baru untuk mencari ilmu.
Contoh kedua, guru yang menyampaikan apa yang sudah diketahui oleh muridnya. Setiap bulan puasa, pertanyaan yang sama akan datang memanggil. Biasanya, para ustad akan bercerita bahwa sepuluh hari pertama adalah rahmat, sepuluh hari kedua ampunan, dan sepuluh hari ketiga pembebasan dari api neraka. Mereka akan cerita berbagai hal seputar puasa. Bila kita sering tarawihan, mungkin sebagian materi itu sudah kita khatam. Favorit saya, hadis tentang amal yang terputus. Bila kita baca bagian awal saja dari sebuah hadis, jamaah akan segera melanjutkannya. Mereka sudah mengetahuinya. Hadis berbunyi berikut ini: “Kalau meninggal anak Adam, terputuslah amalnya kecuali...” dengan segera jamaah akan meneruskannya: Tiga!!! Ilmu yang bermanfaat, shadaqah jariyah, dan anak saleh yang mendoakan kedua orangtuanya.”
Jamaah sudah banyak yang tahu. Hadis “anak Adam” itu dalam Shahih Muslim begini bunyinya “Idza maata al-insaanu...dan seterusnya.” Artinya, kalau mati seorang manusia. Menariknya—dan untuk ini kita beralih pada tipe pengajar yang ketiga: saling berbagi—kedua hadis terkenal itu dengan gamblang mengatakan bahwa yang meninggal itu anak Adam, manusia. Hadis itu tidak secara khusus menyebutkan “orang yang beriman” atau “orang Islam” tapi secara umum: anak Adam, dan manusia. Pertanyaannya, ditinjau dari sisi kajian terhadap pluralisme agama, hadis itu bisa jadi hadis yang sangat pluralis. Karena, amal setiap orang terputus—apa pun agamanya—kecuali yang tiga itu. Adakah saudara Nasrani kita manusia? Adakah saudara penganut Budha kita anak Adam juga? Semua itu adalah pertanyaan yang menunggu jawaban.
Belajar dari Bahlul, marilah tidak dengan cepat menghakimi diri dan orang lain. Sebagian di antara kita ada yang sudah mengetahui sesuatu, sebagian lagi belum. Mungkin orang yang kita pandang sesat tahu hal yang kita tidak tahu. Janganlah merasa lebih benar, lebih pintar, lebih sabar, lebih tegar lebih ar-ar lainnya, lalu berkoar-koar...jangan-jangan nanti jadi penghuni naar (neraka)...wal’iyadzubillahi min dzalik. ***
Miftah F. Rakhmat, penulis buku Bidadari Surgawi (Bitread, 2020)